
Sore itu, aku sedang duduk di beranda kos ketika tiba-tiba ada seseorang perempuan berambut panjang menegurku.
“Hai, kamu penghuni baru? Nempatin kamar yang mana?” tanyanya.
Saat itu, aku baru beberapa hari tinggal di Tangerang untuk bekerja menjadi apoteker pendamping di rumah sakit swasta. Sebelumnya, aku tinggal di Jogja.
“Halo…” sapaku. “Nama saya Meita. Saya nempatin kamar yang di ujung sana.”
“Aku Sela. Kamarku di lantai 2, di ujung juga,” Katanya sambil tertawa.
Kami lalu berbincang. Dari obrolan itu aku tau dia adalah seorang dokter umum di RSUD Kota Tangerang dan sudah tinggal di kos itu selama 2 tahun. Keluarganya tinggal di Bekasi, dan dia dokter lulusan UKI.
“Eh, kamu suka makan apa?” tanyanya kemudian.
“Apa aja sih saya, mah. Yang penting gak pedes,” Jawabku.
“Wah, kamu gak suka mie aceh kalau gitu?” tanyanya lagi.
“Suka saya. Di Jogja ada yang jual mie aceh enak tau, Kak,” Kataku. “Anget gitu tapi gak pedes.”
“Bisa kali ya, kamu pesen mienya gak pake cabe,” Gumam Kak Sela. “Ada tuh yang jual mie aceh deket masjid. Enak lho…”
“Ih mau dong…” kataku.
“Ayuk, nanti habis isya yah?” ajaknya.
Aku mengangguk. Kak Sela lalu masuk ke dalam kos dan berjalan menuju kamarnya sedangkan aku masih diam di beranda memperhatikan warna jingga matahari yang semakin menghilang di balik gedung-gedung tinggi.
Lepas solat Isya, Kak Sela mengetuk pintu kamarku. Kami lalu berjalan menuju warung mie aceh yang ditunjukkan Kak Sela. Letaknya tidak jauh dari gedung kosku. Hanya berjarak 2 blok.
Ketika aku mencoba mie di warung masakan Aceh itu. Aku langsung ilfeel. Aku gak suka pedes dan ketika pesan, aku bilang juga gak usah pake cabe. Tapi hasilnya, tetep aja pedes dan aku menghabiskan mie itu sambil menangis.
“Masak masih pedes sih, Mbak? Gak ditambah cabe lho. Bener,” Kata penjualnya.
Aku tidak menjawab komentar penjualnya, yang melihatku makan sambil berlinang air mata. Aku hanya bergumam dalam hati, “Ya kali, situ kan orang Sumatra. Takaran pedes enggaknya beda sama aku.”
Dan Kak Sela, tersenyum sepanjang kami makan.
Sejak saat itu, aku gak pernah lagi mengidamkan makan mie Aceh. Kalau mau makan mie yang enak dan pas punya uang, aku makan di sebuah restoran yang menyajikan menu bakmie jawa yang rasanya lebih bersahabat.
Kemarin, aku jalan-jalan dan menemukan sebuah warung yang menjual bakmie jawa. Aku lalu mencoba membeli bakmi jawa nya. Walaupun harganya lebih tinggi dari warung yang pernah aku kunjungi lainnya tapi bakmie ini tidak mengecewakan karena rasanya yang menurutku lebih enak. Saat aku perhatikan, si penjual bakmi itu memasaknya menggunakan tungku dengan bahan bakar arang. Aku lalu menceritakan warung bakmie jawa itu pada Kak Sela. Kak Sela hanya berkomentar, “Ya elah orang jawa, pasti bakminya manis.”
Hari ini, karena mendengar iklan Restoran Bungong Jeumpa saat streaming radio Jogja, aku jadi baper dan kepingin makan roti canai. Kak Sela, lalu merekomendasikan sebuah restoran Malaysia.
“Yakin enak?” tanyaku.
“Iya… kalau kamu takut pedes kalau pesen yang kuah gulai, ada yang topping ice cream ma keju kok,” Kata Kak Sela. “Tapi aku nggak ikut yah? Aku jaga sore, ih.”
Aku lalu ke restoran yang ditunjukan oleh Kak Sela dengan bersepeda karena tempatnya ada di ujung jalan perumahan. Tidak sampai 1 km dari kosku dan memang bisa dijangkau dengan bersepeda. Sampai di sana, aku takjub dengan harganya. Buset dah, satu roti di sini kalo aku beli di Bungong Jeumpa bisa dapet tiga!
Tapi karena emang kepingin banget, aku lantas pesan roti canai yang bertopping ice cream dan keju. Rotinya, emang lebih tebal dan lebar daripada yang di Bungong Jeumpa. Tapi rasanya, bisa bikin pusing. Gak tau kenapa. Eneg aja gitu. Biasanya kalo aku beli roti canai di Bungong Jeumpa, aku akan beli untuk dimakan di restoran itu satu dan pesan satu lagi untuk dimakan di rumah. Yang ini, makan satu aja harus berjuang melawan rasa eneg.
Saat aku bercerita pada Kak Sela, dia berkata, “Ih, enak tau. Itu yang topping ice cream kan di tengah rotinya sama dia dikasih keju lagi. Jadi kejunya itu beneran kerasa.”
“Ya itu yang bikin eneg,” Kataku. “soalnya rasa kejunya jadi berlebihan.”
“Kayaknya kalau kamu makan yang kuah gulai tambah enek deh, soalnya tengah rotinya isinya daging kambing gitu,” Kata Kak Sela.
“Is…” Aku membayangkan rasanya malah jadi gak enak sendiri. Daging kambing itu kalau menurutku, enak kalau makannya sedikit. Sate 3 tusuk gitu cukup. Kalau kebanyakan, pusing ntar.
“Kamu tau gak sih, aku pernah ke Malaysia, rasa roti canainya persis lho sama yang dijual di restoran itu,” Kata Kak Sela. “Aku curiga yang di Jogja itu jangan-jangan yang jualan orang jawa. Makanya mie-nya ma roti canainya cocok sama selera kamu. Selera jawa.”
“Ya gak apa… yang penting aku bisa menikmati,” Tukasku.
“Eh, ntar habis magrib nyoba beli pecel lele di luar gerbang situ aja yuk, buka baru noh…” ajak Kak Sela kemudian.
“Males ah, pecel lele di sini tipu-tipu.”kataku. “isinya lele goreng doank, gak ada pecelnya.”
“Ih, kali aja ada. Itu katanya yang jual orang jawa noh,” Kata Kak Sela.
“Wah, boleh lah,” Kataku kemudian.
Seberapa parah sih kalo sampai dikecewakan pecel lele? Paling gak dikasih pecel. Atau si lele kurang kering digorengnya.
Artikel ini pertama kali dipublikasi di kompasiana.com dalam rangka mengikuti lomba event fiksi kuliner