Ruang Tidur

Sama-sama Manusia (1)

dokpri

Kenapa aku harus terlahir menjadi seorang perempuan? Tidak, aku sungguh tidak ingin mengingkari takdirku sebagai perempuan. Tapi kadang aku ingin sekali terlahir sebagai seorang pria. Andai aku bisa memilih…

Menurut apa yang aku lihat dan aku rasakan, perempuan tak lebih dari sekedar boneka. Yang akan dipuji ketika terlihat manis, lucu, dan cantik tapi akan digunjingkan bila terlihat berantakan. Sebagai perempuan, aku harus memperhatikan, baju apa yang aku pakai, sepatu apa yang aku kenakan, dan bagaimana tampilanku di muka umum. Aku lelah memikirkan hal-hal sepele itu. Padahal dalam film Gie, Soe Hok Gie mengatakan bahwa wanita akan selalu di bawah tingkat laki-laki bila yang diurusi hanya masalah baju dan kecantikan. Aku ingin berkembang paradigma lain tentang perempuan…

Aku iri pada Ichi, abangku, yang kalau ke pesta bisa siap dalam waktu 15 menit dan bisa mengenakan pakaian sambil berjalan menuju garasi dari kamarnya. Bagaimana denganku? Aku harus bersiap-siap minimal 30 menit sebelumnya. Untuk mengenakan baju yang merepotkan dan berdandan. Tidak bolehkah aku mengenakan kemeja saja ke sebuah pesta seperti yang Ichi kenakan? Ibuku yang akan melarangku. Kata ibuku, aku harus tampil cantik di muka umum. Kurang cantik kah aku menurut Ibuku sendiri dengan apa adanya aku?

***

“Neng, mau kemana? Abang anter yuk…” kata seorang cowok di pinggir jalan ketika aku lewat.

Aku hanya diam saja.

“Jawab donk, Neng. Ih, sombong banget,” Kata cowok itu lagi.

“Hai Neng…” kata cowok yang lain.

Aku masih terdiam dan meneruskan jalanku.

Setiap aku jalan melewati kerumunan cowok, pasti ada aja yang panggil-panggil. Aku jadi risih sendiri. Perasaan tampilanku biasa aja deh. Malah aku berasa kayak buruh aja. Selama 2 bulan ini, aku magang di perusahaan farmasi terkemuka di kabupaten Tangerang sehingga aku kos di sebuah perumahan di dekat perusahaan itu. Dan untuk sampai ke perusahaan tempaku magang, aku berjalan kaki dari kosku. Seminggu aku mengalami hal ini, aku mulai bete.

“Ichiiiii… Aku bete di sini…. Cowoknya ganjen-ganjen….” Teriakku pada Ichi di telpon.

“Kok gitu?” Tanya Ichi.

“Iya, mereka ni sukanya panggil-panggil gitu” Kataku.

“Diemin aja sih. Mereka gak ada sentuh-sentuh kan?” Tanya Ichi.

“Gak ada sih, tapi kalo yang nyamperin gitu ada, Chi,” Jawabku.

“Ati-ati, Mei. Kamu kalo jalan bawa payung aja. Kalo ada yang macem-macem, kamu gebug pake payung kamu,” Kata Ichi. “Kamu gak kena shift sore kan?”

“Kenaaaa… makanya ngeri aku kalo pulang malem,” Kataku.

“Banyak-banyak berdoa, Meicha. Kamu kalo mau pulang solat dulu aja. Tuhan yang bakal jaga kamu,” Kata Ichi.

Saat aku bercerita pada temanku yang menjadi kepala apotek di Bali, ceritaku belum apa-apa. Sebab dia kalau malam, selalu digoda dan mendapat ancaman dari pria-pria yang kecanduan psikotropika. Itu adalah hal yang lebih mengerikan daripada sekedar dipanggil-panggil. Hampir setiap pulang malam temanku menangis karena tidak tahan menghadapi pria-pria itu.

Aku masih tidak habis pikir. Bukan kah pria dan wanita itu sama-sama manusia? Kenapa pria bisa menjadi ancaman untuk wanita? Bukankah seharusnya kita saling menjaga? Cowok-cowok jahat yang suka berkeliaran di jalan itu, tidak kah mereka punya Ibu? Apa rasa mereka kalau ibu mereka yang digoda dan diancam orang seperti itu?

***

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s