
Suatu hari di bulan Ramadan saat pengajian menjelang magrib….
“…Dan bagi para laki-laki, kalian jangan mau menikahi perempuan yang sudah rusak segelnya…” kata Pak Ustad.
Aku sudah tidak tahan lagi. Aku lalu angkat tangan. Aku melihat ke arah Ichi yang memelototiku tapi aku bersikap seolah-olah aku tidak melihat Ichi.
“Maaf Pak Ustad, saya ingin interupsi. Saya agak risih dengan kata-kata Bapak yang terakhir karena terdengar kasar sekali di telinga saya. Apakah bagi Bapak, menikahi perempuan itu seperti membeli minuman kemasan sehingga tidak boleh diterima bila segel sudah rusak? Apakah di mata Bapak perempuan hanya setara dengan minuman kemasan? Kita sama-sama manusia, Pak,” Kataku segera setelah aku mengangkat tangan.
“Iya. Tapi wanita kan harus menjaga kehormatannya hingga dia menikah itu intinya,” Kata Pak Uztad. “Maaf saya menggunakan perumpamaan yang keliru.”
“Wanita harus menjaga kehormatannya hingga menikah. Lalu bagaimana dengan pria? Bukankah yang merusak kehormatan wanita adalah pria?” tanyaku lagi. “Wanita yang gagal menjaga kehormatannya sebelum dia menikah mendapat sanksi untuk tidak dinikahi oleh laki-laki. Bagaimana dengan laki-laki yang sudah merusak kehormatan wanita?” tanyaku lagi.
“Pria itu pilih-pilih, mbak. Dia tidak akan merusak kehormatan wanita baik-baik yang selalu menutup auratnya,” Kata Pak Uztad.
“Oh, siapa bilang? Bapak gak pernah baca koran yah?” kataku sinis. “Ada lho, perempuan berjilbab yang diperkosa rame-rame karena dia dianggap bersikap sombong pada pemerkosa. Lalu bagaimana dengan perempuan itu? Apakah dia bukan wanita baik-baik? Kita semua tau apa yang terjadi kemungkinannya, pria-pria jahat ini pasti sukanya menggoda gadis ini. Tetapi gadis ini antara takut dan sebal jadi malas menanggapinya sehingga dia disebut sombong oleh pria-pria jahat ini.”
Sayup-sayup, terdengar suara adzan dari masjid lain. Sudah waktunya solat magrib dan sudah saatnya majelis ini ditutup. Pembawa acara lalu menyudahi kajian ini dan mempersilahkan muadzin untuk mengumandangkan adzan magrib. Kami lalu solat magrib berjamaah lalu pulang ke rumah masing-masing.
“Kapan kamu baca koran?” Tanya Ichi saat kami berjalan pulang.
“Kalo ke kantor ayah,” Jawabku.
“Kapan kamu ke kantor ayah?” Tanya Ichi lagi.
“Ichi, bulan lalu, saat aku magang di Tangerang, tiap Senin aku nongkrong di kantor ayah pagi-pagi nungguin ayah apel sebelum ayah nganter aku,” Jawabku. “Kamu pikir aku membual tadi di majelis?”
“Kamu harus sadar, kadang kamu kalo lagi emosi omongannya perlu dipertanyakan kebenarannya,” Jawab Ichi. “Kamu ni, rempong banget sih?”
“Habis aku kesel banget. Cowok-cowok jahat yang di tempat aku magang memperlakukan cewek gak sopan banget gitu. Trus temenmu munafik banget gitu. Sekarang uztad yang merupakan orang terkemuka gitu memperlakukan perempuan kayak minuman kemasan gitu,” Kataku dengan gemas.
“Aku bukan perempuan sih, Mei. Aku juga gak pernah ngerasain digodain di jalanan kayak kamu gitu.” Kata Ichi. “Aku no comment aja yah.”