
Kelompok tenisku, kedatangan orang baru. Seorang dokter pria bernama Rezki. Sebelum dia datang, aku menjadi satu-satunya perempuan di kelompok yang berjumlah 5 orang ini. Dengan kehadiran dokter ini, aku semakin menjadi minoritas.
“Kenapa cowok lagi sih yang dateng?” keluhku.
“Yang aneh kamu kali, Mei. Gadis-gadis seusia kamu tuh ya, sore-sore gini mereka lagi minum teh sambil ngobrol di cafe, belajar masak, belanja baju, atau kursus kecantikan. Kamu, malah nongkrong di lapangan tenis cari keringat,” Kata Herman, salah seorang teman tenisku.
“Orang punya sukanya sendiri-sendiri, sih Man,” Kataku.
“Ya udah, kalau kayak gitu kamu jangan protes temennya laki semua. Soalnya sukanya kamu juga gak umum buat cewek,” ujar Herman sambil membawa bola dan raket menuju lapangan sebagai tanda pemanasan akan dimulai.
Aku lalu mengambil raket dan mengikuti Herman menuju lapangan. Demikian juga dengan teman-teman yang lain. Kami lalu bermain tenis sepanjang 2 babak dengan durasi 90 menit. Sambil beristirahat setelah pertandingan yang melelahkan, kami mengobrol dengan Rezki. Ternyata, selain dokter dia juga seorang aktivis Islam. Dia aktif mengkoordinasi kajian-kajian Islam di masjid di daerah tempat tinggalnya. Yang membuat dia menarik, dia tidak seperti aktivis Islam kebanyakan yang menyebalkan ketika berbicara dengan perempuan karena suka membuang muka demi menjaga pandangan. Rezki mau melihatku ketika aku sedang berbicara seolah mendengarkan dengan seksama.
“Rezki, kamu kok mau sih ngeliat aku? Kamu gak ngerasa dosa?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Enggak sih, aku kan liat aku sebagai tanda kalo aku dengerin kamu. Kalo aku memalingkan muka, tau dari mana kamu dengerin aku apa enggak? Lagian gak apa kali liatin lawan jenis kalo ngobrol, yang penting seperlunya, sewajarnya, ngeliatnya biasa aja dan sopan, dan gak berlebihan sampe bikin risih,” jawab Rezki.
“Ih, ganteng banget kamu emang,” Sahutku.
“Meicha, kami juga gak pernah lho memalingkan muka kalo kamu ngomong. Kami juga gak pernah gak sopan sama kamu. Kok kamu gak pernah manggil kita ganteng sih?” protes Bayu, teman tenisku.
“Masalahnya, kalian emang gak nganggep aku perempuan kan?” sindirku.
“Makasih,” Jawab Rezki memotong debatku dengan Bayu. “Tapi emang sih, supaya matanya cowok gak kemana-mana, cewek juga seharusnya pake pakaian yang biasa aja. Jangan pamer.”
“Tuh, kamu jangan pamer, Mei,” Kata Rio, teman tenisku yang lain. “Liat tuh kamu pake celana pendek banget.”
“Rio, ini lapangan olah raga,” Kataku. “Kamu ngaca… Kamu juga pakenya celana pendek…”
“Tapi gue cowok, Meicha…” bantah Rio.
“Terus?” sahutku.
“Ya udah, supaya adil, kita semua besok ke lapangan ini pake celana training panjang. Gak ada yang boleh pake celana pendek,” Kata Herman memotong keributanku dan Rio.
“Nah, aku suka kalo kayak gitu,” Kataku. “Merata gitu donk, jangan cewek mulu yang diatur-atur.”
“Tapi kita harus mengakui, perlindungan terhadap perempuan buruk sekali di sini,” Kata Rezki tiba-tiba. “Untuk hal ini menurutku perlu juga kita mencontoh negara Amerika. Di sana tidak ada larangan mengenai seks bebas, tapi cowok bisa dituntut ketika melakukan seks dengan wanita kemudian wanitanya hamil padahal di awal mereka ada komitmen gak ada kehamilan yang terjadi karena seks itu.”
“Lah, kalo sama-sama mau, knapa cowoknya dituntut, Rez?” Tanya Rio.
“Mereka maunya seks yang tidak berujung dengan kehamilan. Soalnya, kemungkinan kehamilan itu terjadi karena cowoknya yang gak bener pake pengamannya. Sehingga, cowoknya layak dapet tuntutan,”terang Rezki.
“Bisa gitu yah?” komentar Rio.
Rezki berbicara seperti itu, mengingatkanku pada sesuatu.
“Eh Ki, itu kamu cerita gitu kamu korban serial SVU yah?” tanyaku. Serial SVU (Special Victim Unit) adalah serial TV yang mengkisahkan tentang sekelompok detektif resmi pemerintah Amerika menangani masalah yang terkait dengan wanita, anak-anak, dan gender.
“Iya.” Jawab Rezki sambil cengengesan.
“Wah, kamu emang mengagumkan. Aku juga suka tau sama serial itu,” Kataku. “Serial itu ya, menunjukkan bahwa wanita maupun warga kulit hitam itu manusia juga sehingga mereka perlu diberi payung hukum dan diberi rasa adil.”
Perkenalan dengan Rezki membuatku cukup bersemangat. Artinya, walaupun ada kupret-kupret seperti pria-pria di lingkungan magangku, pria yang tidak peduli seperti Ichi dan teman-temanku, pria sok suci seperti teman Ichi, dan Uztad jahat yang memperlakukan cewek kayak minuman kemasan, ternyata ada juga cowok yang berwawasan luas seperti Rezki.
Aku berharap, ada banyak lagi pria seperti Rezki yang bisa bersikap hormat dan menyenangkan pada wanita. Dan juga, mereka bisa bersikap wajar. Tidak antipati dan tidak kurang ajar. Seperti yang sering aku gumamkan, bukankah kita sama-sama manusia?