Jam hampir menunjukkan pukul 8 pagi ketika Aku dan suamiku tiba di Stasiun Rangkas Bitung. Aku meregangkan badanku setelah duduk selama kurang lebih 2 jam di kereta dari Tanah Abang. Ini tidak termasuk perjalanan dari Stasiun Bekasi ke Stasiun Tanah Abang yang harus melalui transit di Stasiun Manggarai. Kalau ditotal-total, pagi itu aku menghabiskan waktu hampir 3 jam dalam perjalanan dari rumahku yang berlokasi di Bekasi Timur sampai ke Stasiun Rangkas Bitung.
Hari Minggu aku memanfaatkan untuk berjalan-jalan ke Museum Multatuli yang baru diresmikan beberapa minggu lalu. Museum Multatuli adalah museum antikolonial yang terletak di jln Alun-alun Timur no. 8 Rangkas Bitung, Kabupaten Lebak, Banten. Seorang teman yang sudah pernah ke sana mengatakan, kami bisa naik KRL sampai ke Stasiun Rangkas Bitung, lalu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sambil menikmati suasana kota yang masih asri.
Banyak pohon-pohon besar di sepanjang jalan yang kami lalui. Bangunan-bangunan yang nampak di sepanjang jalan Rt Hardiwinangun banyak yang merupakan rumah lama. Tidak banyak kendaraan yang berlalu lalang walaupun jalanan di sana lebar. Mungkin karena hari Minggu, orang-orang banyak yang berlari maupun berjalan santai di sepanjang jalan.

Ketika kami sampai di Museum Multatuli, pintu gerbang sudah dibuka. Orang-orang duduk santai sambil makan dan mengobrol di teras depan gedung museum yang masih terkunci. Ada juga yang sedang asyik berfoto di patung Eduard Douwes Dekker (mantan Asisten Residen Lebak yang punya nama pena Multatuli) yang ada di samping kanan museum dan di depan poster yang menampilkan cover buku Max Havelaar dari berbagai edisi.
Pemandangan menarik terlihat di samping kiri museum. Ada mobil perpustakaan dikelilingi oleh anak-anak yang santai membaca buku. Sambil menunggu gedung museum dibuka, kami menghampiri mobil perpustakaan dan melihat-lihat buku yang dibawanya. Di samping Museum Multatuli adalah Perpustakaan Saidjah Adinda, perpustakaan daerah Rangkas Bitung. Bagi yang pernah membaca buku Max Havelaar, Saidjah Adinda adalah kisah sepasang kekasih yang ada di buku itu. Sayangnya, gedung perpustakaan tidak buka pada hari Minggu. Namun perpustakaan tetap melayani pembaca melalui mobil perpustakaan sepanjang pagi hingga pukul 10.

Beberapa saat kemudian gedung museum dibuka. Kami diminta untuk mengisi buku tamu. Kami tidak diminta untuk membayar tiket masuk dan tidak dibagi brosur museum seperti ketika masuk Museum Nasional. Mungkin karena memang museum ini masih baru dibuka sehingga masih banyak yang belum dipersiapkan. Setelahnya, kami diajak berkeliling oleh pemandu museum yang bernama Kang Afif. Kami berkeliling museum bersama dengan sebuah keluarga yang datang dari Pondok Kelapa, Jakarta Timur.
Bangunan yang digunakan sebagai museum ini adalah bekas kantor dan kediaman Wedana Lebak yang dibangun pada tahun 1920an. Museum ini terdiri dari 7 ruangan. Ruangan pertama berisi miniatur museum dan karya seni mozaik potret Multatuli. Ruangan ke 2 dan ke 3 yang menceritakan mulai dari awal kedatangan Belanda di Banten dan komoditas kopi dan rempah-rempah.
Di ruang 4, yang merupakan tengah-tengah dari gedung ini, terdapat buku Max Havelaar berbahasa Prancis yang diterbitkan tahun 1876. Buku ini merupakan edisi pertama dari Max Havelaar. Ada juga 5 jilid Verzamelde Werken Van Multatuli (antologi lengkap karya-karya Multatuli) yang terbit pada tahun 1907. Selain buku, di ruang 4 ini terdapat replika surat Multatuli untuk Raja Belanda Willem III dan litografi potret Multatuli. Di dindingnya terdapat gambar orang-orang yang terinspirasi oleh karya Multatuli. Di antaranya ada R.A Kartini dan Pramoedya Ananta Toer.
Ruang 5 menceritakan penderitaan rakyat akibat penjajahan hingga perjuangan orang-orang yang memberontak dari penjajah terutama di Lebak. Ruang 6 adalah sebuah ruangan yang mengisahkan tentang sejarah Rangkas Bitung. Sedangkan ruang 7, ruang kontemporer, memperlihatkan gambar seniman-seniman yang terkait dengan Rangkas Bitung. Salah satunya adalah WS Rendra yang menulis kumpulan puisi berjudul Orang-orang Rangkas Bitung. Menurut Kang Afif, ruang kontemporer ini isinya bisa berubah-ubah sesuai dengan perkembangan museum.
Sepanjang perjalanan berkeliling museum, Kang Afif tak henti-hentinya mengatakan bahwa informasi yang disampaikannya ada di buku Max Havelaar. Seperti ketika dia menceritakan tentang minuman seduhan daun kopi dan cerita tentang Rangkas Bitung. Sepertinya, dia ingin meminta pengunjung museum untuk membaca buku Max Havelaar itu.
Jam menunjukkan pukul 11 ketika kami keluar dari gedung museum. Beberapa orang lain terlihat sedang mengantri mengisi buku tamu untuk masuk ke gedung museum. Suamiku mengecek jadwal KRL yang berangkat ke Tanah Abang di aplikasi KRL access. Kereta menuju Tanah Abang akan berangkat pukul 11.45 dari Stasiun Rangkas Bitung. Kami pun bergegas keluar dari museum dan berjalan pulang.

________________________
Pertama kali terbit di komunitasbacatangerang.com