
Sepertinya, hampir semua orang pernah mendengar kisah tentang Sangkuriang, legenda yang tersohor sebagai asal-usul terbentuknya Gunung Tangkuban Perahu. Kisah yang dituturkan tentang Sangkuriang kebanyakan terhenti sampai ketika Sangkuriang menendang perahunya hingga terbentuk Gunung Tangkuban Perahu. Namun menurut beberapa sesepuh yang tinggal di Kabupaten Bandung Barat, cerita Sangkuriang tidak hanya sampai di situ.
Menurut cerita sesepuh dari Kampung Rancamoyan, Desa Gunungmasigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, (seperti yang dituliskan dalam buku berjudul ‘Wisata Bumi Cekungan Bandung’ yang ditulis oleh Budi Brahmantyo dan T. Bachtiar) amarah Sangkuriang tidak mereda setelah dia menendang perahu. Kemarahan Sangkuriang berlanjut hingga muncullah nama-nama bukit (dalam bahasa Sunda disebut pasir) seperti itu di daerah Citatah, Kabupaten Bandung Barat.
Konon, Sangkuriang, yang sudah menyiapkan tetek-bengek resepsi pernikahannya seperti makanan, perhiasan, tetabuhan, dan lain sebagainya, merasa kecewa dan mengobrak-abrik semuanya. Sangkuriang mengobrak-abrik dapur yang berlokasi di Pasir Pawon (dapur), menendang lumbung hinggal terbentuk Pasir Leuit, melempar tempat beras hingga muncul Pasir Pabeasan, menendang tungku hingga terbentuk Gunung Hawu, dan melempar wajan yang jatuh terbalik sehingga membentuk Pasir Kancahnangkub. Bukit-bukit itu berada di posisi yang berjauhan, tentu saja, karena berserakan setelah ditendang dan dilempar oleh Sangkuriang tanpa pola.
Selain itu, Sangkuriang juga menendang alat tetabuhan hingga terbentuk Gua Ketuk dan Pasir Bende. Sangkuriang juga melempar perhiasan yang akan dihadiahkan pada Dayang Sumbi hingga barang tersebut membentuk Pasir Manik. Lalu makanan yang diburai oleh Sangkuriang menjadi Ci Bukur (dalam bahasa Sunda bukur berarti sisa makanan).
Setelah itu, Sangkuriang mengejar Dayang Sumbi. Dalam pengejaran itu, di sebuah tempat Sangkuriang terpaksa meloncat-loncat. Dan tempat itu kemudian mengalir sungai yang dinamai Ci Luncat. Dan tempat Sangkuriang beristirahat dalam pengejaran itu disebut Rancamoyan (rawa tempat berjemur). Seluruh kejadian itu dicatat sebagai bencana yang diekspresikan pada satu bukit kapur bernama Pasir Bancana.
Untuk menjumpai tempat-tempat yang disebutkan tadi, kita bisa menaiki angkot Padalarang-Rajamandala yang berwarna kuning dari Stasiun Padalarang, atau menaiki bis tujuan Cianjur yang berangkat dari Terminal Leuwi Panjang, Bandung. Setelah melewati Padalarang dan Situ Ciburuy, kita akan melihat Pasir Pabeasan di kiri jalan. Bukit ini cukup terkenal di kalangan pemanjat tebing sebagai tebing-125 karena memiliki ketinggian 125 meter. Bukit ini memiliki dinding tegak tertinggi di perbukitan yang ada di Citatah.
Di baliknya, terdapat Gubung Hawu, yang memiliki lubang menganga seperti tungku kayu bakar. Jauh di Sebelah selatan, kita bisa melihat Pasir Kancahnangkub yang bukan berupa bukit kapur. Melanjutkan perjalanan, sekitar 2 km kemudian di sebelah kanan jalan berderet Pasir Pawon. Ke arah barat, kita akan menjumpai Pasir Leuit dan Pasir Bancana. Sedangkan lokasi Ciluncat, Cibukur, dan Rancamoyan agak masuk ke arah utara dari jalan raya.
Semakin ke barat, kita akan menjumpai Pasir Manik yang digunakan untuk latihan panjat tebing oleh kopassus. Di puncak bukit ini tertancap belati komando raksasa. Jauh di sebelah selatannya, terdapat Pasir Bende.
Ketika aku bermain ke daerah sana pada tahun 2015, beberapa bukit sudah tidak bisa dikenali bentuknya karena aktivitas penambangan kapur. Bukit yang masih utuh adalah Pasir Pawon yang puncaknya dijadikan tempat wisata taman batu dan Pasir Manik yang dikuasai oleh Kopassus. Agak sedih melihat bentang alam yang disisakan oleh pertambangan kapur itu. Lebih sedih lagi, membayangkan tempat-tempat yang ada dalam legenda itu bisa hilang sama sekali.