Lupakan pekerjaan, lupakan rutinitas, lupakan kemacetan dan lupakan segalanya yang menjadi beban pikiran yang menjadi rutinitas sehari-hari. Akhir pekan ini mari kita bergembira dengan buku-buku. Buku-buku yang digelar oleh Perpusjal Bekasi.
Minggu 15 April 2018, menjadi perhelatan Sinergi antara 3 perpustakaan jalanan yang ada di Bekasi Raya, yaitu Perpustakaan Jalanan Bekasi, Perpustakaan Jalanan Langit Tjerah, dan Perpustakaan Jalanan Atap Usang dengan membawa tema Permainan Tradisonal. Perpusjal Bekasi sendiri keluar dari “kandangnya” di Danau Duta Harapan menuju Curug Parigi yang berlokasi di Desa Cikiwul, Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi-Jawa Barat. Menurut Google Maps jaraknya 19 KM dari danau Duta Harapan tempat biasa Perpusjal Bekasi menggelarkan lapak bukunya.
Ini merupakan ke empat kalinya bagi saya dalam mengikuti kegiatan Perpusjal Bekasi. Saya tidak menyangka pesertanya bisa seramai ini. Selain Perpusjal Langit Tjerah dan Perpusjal Atap Usang, turut hadir juga teman-teman dari Bekasi Collective, Destio, Ragiel pemuda Kampung Sawah-Setu, dan beberapa teman-temanya yang belum saya kenal.
Hari ini ada sesuatu yang berbeda dari teman-teman pegiat perpustakaan jalanan. Buku-buku sudah rapih berjajar di atas tikar berwarna cokelat. Dibalut dengan pemandangan curug ciparigi, yang sayangnya Dewi Fortuna tidak sedang berada di pihak kami, yang airnya sedang keruh, bagaikan aliran cokelat Coco Crunch yang membanjiri ladang gandum. Suara air yang terjun dari batuan tinggi begitu khas di telinga menemani sepanjang kegiatan hari ini.
Tidak ingin membuang waktu, Mas Bayu, mewakili Perpusjal Bekasi, mengucapkan salam pertanda acara akan dimulai. Rundown acaranya adalah membersihkan sampah di sekitar Curug Parigi, bermain permainan tradisional, kemudian dilanjut memperbincangkan permainan tradsional yang kami sukai pada masa kecil.
Sepertinya permainan tradisional tidak bisa dilakukan. Berangkat dari hal inilah saya pribadi turut serta untuk mengikuti kegiatan ini. Ada kekhawatiran tersendiri di hati saya jika suatu hari nanti anak-anak tidak lagi mengenal permainan tradisional.
Kegiatan dimulai dengan membersihkan sampah di sekitar curug parigi. Peralatan seperti sarung tangan dan kantong plastik sampah sudah dipersiapkan sebelumnya. Smuanya bersinergi, semuanya bekerja. Kemudian, setelah membersihkan sampah selesai, kegiatan dilanjutkan dengan perbincangkan mengenai permainan tradsional yang kita sukai pada masa kecil. Kemudian Bayu dari Perpusjal Bekasi melempar pertanyaan, “Apa solusi agar anak-anak kembali menyukai permainan tradisonal?”
“Solusinya dari diri kita sendiri. Mulai dari memberi contoh dan memberi penyampaian tentang permainan tradisonal ke anak-anak.” Pungkas Desetio Irpan, seorang pemuda dari Kp. Sawah, Setu, Bantar Gebang.
Yofi Aripin dari Perpusjal Atap Usang-Cikarang pun juga menyuarakan pendapatnya, “Peran orang dewasa lah yang bisa mendorong mereka untuk keluar rumah dan bermain bersama permainan tradisional di kala waktu senggang.”
Dalam hangatnya suasana perbincangan Darwin dari Perpusjal Bekasi mengutarakan pendapatnya, “Menurut saya lingkungan merupakan faktor utama. Sekarang bagaimana kita bisa bermain. Lah, pembangunan gedung atau kontrakan aja sudah bikin lingkungan sempit. Jadi butuh ruang terbuka.”
“Anak-anak itu selain butuh tempat bermain tetapi juga butuh bahan permainan. Bagaimana kalau kita iuran untuk membuat mainan tersebut? Misalnya, kita bikin egrang,” Ragiel dari Kp. Setu menambahkan solusi.
“Kenapa anak-anak itu lebih suka pegang gawai? Sebab di keluarga, orang tuanya lebih suka memegang gawai. Jadi anak-anak pun demikian. Di lingkungan sekolah sendiri, dalam sebuah ekstra kurikuler guru meminta anak-anak memanfaatkan alat-alat canggih sehingga ana-anak jadi lebih terbiasa menggunakan alat canggih.” Agi Gori dari Langit Tjerah menyampaikan pendapatnya.
Saya pribadi sependapat dengan teman-teman semua. Anak-anak memang butuh tempat bermain, anak-anak butuh ruang. Jangan begitu ada tanah kosong langsung dibangun bangunan komersil. Yang mengakibatkan anak-anak kehilangan tempat bermain sehingga membuat mereka bermain di pinggir jalan yang banyak resikonya.
Tidak terasa perbincangan berjalan cukup seru sehingga tidak sadar azan Zuhur berkumandang. Mas Bayu dengan segera menutup acara hari ini.
Saya berkesimpulan bahwa kita semua bertanggung jawab atas lestarinya permainan tradisional yang tak ayal sudah hampir hilang tertinggal zaman. Selesai acara, kami semua membawa pulang PR masing-masing. Menjalankan apa yang sudah kami ucap. Dimulai dari diri sendiri, dimulai dari lingkungan sekitar untuk mencoba memperkenalkan kembali permainan tradisional pada anak-anak zaman sekarang yang lebih tertarik dengan gawai.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di jabaraca.com