Ruang Tamu

Apakah Saya Sedang Mengalami Gegar Budaya

tugu
(Dok. Pri Allan)

Hari ini ketika saya sedang melakukan perjalanan dari rumah, di Clumprit melalui Jl. Palagan Tentara Pelajar menuju pasar Beringharjo, saya melihat barang satu-dua moment yang membuat saya terkesan.

Kondisi Jl. Palagan Tentara Pelajar hari ini tergolong ramai. Mungkin karena hari ini adalah akhir pekan. Beberapa kendaran berpelat nomor kota lain pun terlihat, misalnya pelat B yang berasal dari ibu kota. Di beberapa titik perempatan jalan yang diberi lampu lalu lintas nampak antrian yang panjang.

Saya terus melanjutkan perjalanan. Menelusuri Jl. Palagan Tentara Pelajar dengan kecepatan rendah. Terus membuntuti mobil yang berjalan melambat di depan saya, mobil dengan bernomor kendaran AB. Sekitar hampir 100 meter, mobil itu pun menyalakan lampu sign sebelah kanan, kemudian menyalip bapak-bapak tua yang mengayuh sepeda ontel dengan sebuah karung berisi rumput di jok belakangnya.

Wah, seketika saya langsung terkejut. Tanpa bunyi kelakson, tanpa menyerbot jalur berlawanan dari pengguna jalan lain si mobil berpelat nomor AB ini mengikuti si bapak tua bersepeda ontel dengan sabar dan menunggu jalan berlawanannya benar-benar kosong baru kemudian melewati si bapak tua itu.

Kemudian, saya tetap melanjutkan perjalanan. Di beberapa persimpangan jalan dan perempatan yang diberi lampu lalu lintas, pengguna jalan di kota ini mengikuti aturan yang sudah kita ketahui. Mematuhi lampu lalu lintas dan berhenti di belakang garis putih.

Seiring jalan, sampailah saya di perempatan tugu Yogya. Lampu lalu lintas menunjukan warnanya yang merah. Pengendara paling depan nampak berhenti di belakang garis putih. Pengendara yang berada di sisi sebelah kiri jalan, rapih berbaris dengan tidak melewati marka jalan yang berfungsi sebagai pembatas arus lalu lintas. Sehingga pengendara yang ingin berbelok ke kiri tidak terhambat perjalananya.

Pikiran saya melayang menuju apa yang terjadi di kota asal. Jika di kota asal, pengendara lain mungkin sudah penuh mengisi sisi jalan sebelah kiri tanpa menghiraukan pengendara lainnya yang ingin berbelok ke kiri.

Saya mulai membiasakan diri untuk mematuhi setiap peraturan lalu lintas yang ada di kota ini. Jujur saja, ketika berada di kota asal kebiasaan buruk saya melanggar lalu lintas menjadi hal yang biasa. Penggendara yang lain pun demikian. Jadi, ya memang sudah membudaya sih menurutku. Tapi budaya yang buruk.

Jujur saja, jika sedang berkendara di kota ini saya sangat merasa malu jikalau saya; berhenti melewati garis putih di lampu lalu merah, menyalip kendaraan lain dengan mengambil jalur orang lain, membunyikan klakson ketika lampu hijau menyala. Lebih parah lagi kalau sampai menerobos lampu lalu lintas.

Masih banyak hal lain yang biasa saya lakukan di Bekasi dan Jakarta tak semestinya dilakukan di kota ini. Saya jadi sadar, betapa tidak beretikanya diri ini ketika berkendara di kota asal. Ya, saya rasa pengguna jalan di kota asal pun demikian. Meskipun tanpa kita sadari dan tanpa kita akui. Tapi itu realitanya.

Saya sangat terkesan dengan pengendara di kota ini. Pengguna jalan di kota ini tahu aturan. Yang sangat jelas terasa di batin saya; pengguna jalan di sini tahu akan etikanya berkendara. Tanpa kita sadari, pengguna jalan di sini telah membuat lalu lintas menjadi nyaman dan aman.

Sejujurnya saya lebih merasa nyaman di kota ini daripada kota asal saya. Jujur, saya telah jatuh hati pada kota ini. Seandainya suatu hari nanti perjalanan hidup saya berada di persimpangan jalan, antara Yogya atau Bekasi, Jakarta, Bandung atau kota lainnya. Sudah saya putuskan dari hari ini, saya akan memilih jalan menuju Yogyakarta.

Yogyakarta, Minggu 03 Juni 2018

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s