
Foto adalah kunjungan ke tempat Festival of Light tahun 2017 di Kaliurang, Sleman.
“Jadi, apa fungsilampion-lampion ini?” tanyaku pada suamiku.
Suamiku mengangkat bahu.
Saat itu, kami tengahberjalan-jalan di Festival of Light yang diadakan di daerah Kaliurang, Kabupaten Sleman.
“Tapi kalau di Cina masalalu sana, lampion dijadiin festival trus dibentuk-bentuk gini, gak ya?” tanyaku lagi.
Festival of Light adalah semacam taman lampion. Kertas beraneka warna dibentuk menjadi berbagai bentuk lucu dan indah. Di dalamnya, diberi lampu sehingga kertas-kertas berbentuk itu seolah menyala dan menegaskan bentuknya.
Sayangnya, kami datang ke sana di pagi hari. Aku tidak bisa menikmati suasana seperti itu.Ketika lampu-lampu dalam kertas tersebut sudah diredupkan. Namun kami menikmati udara pagi yang sejuk sambil melihat matahari menyingsing menghangatkan badan kami. Malam hari ketika gelap datang dan lampu-lampu mulai dinyalakan, tempat ini penuh dengan manusia yang berdesakan. Tidak ada yang bisa dinikmati dari suasana orang yang penuh sesak.
“Memangnya ini semua bisa disebut lampion?” tanya suamiku tiba-tiba. “Lampion asli kan penerangannya pake lilin. Bukan pake lampu.”
“Lah, dianya sudah berevolusi,” kataku. “Makanya bisa dibikin bentuk-bentuk begini. Emangnya kalau masih pake lilin bisa? Yang ada malah rawan kebakaran.”
Suamiku hanya mengangguk.
“Kalo gak pake lampu, mungkin dia hanya bisa berbentuk bulet atau kotak,” gumamnya.
“Dan cuma dipake kalo pas imlek, doank,” tambahku.
“Iya,” katanya. “Jaman dulu, lampion dipake buat penerang jalan. Sekarang mah udah ada senter dan lampu jalan yang terang benderang. Yang masih terpakai, mungkin ada orang-orang tertentu yang menggunakan lampion sebagai tanda.”
“Tanda apa?” tanyaku.
“Jaman dulu, lampion digunakan sebagai tanda,” ceritanya. “Lampion digunakan untuk menandai rumah orang-orang miskin oleh Robin Hoodnya Cina. Nantinya, rumah-rumah yang depannya pake lampion gak akan dirampok tapi malah dibagi duit.”
Aku mengangguk-angguk.