
“Gila, lo ngatain gue pengangguran??” teriakku pada seorang teman lama yang aku temui di acara hari jadi sebuah komunitas.
“Sstt,” desis suamiku sambil memegang lenganku.
Aku mendelik ke arahnya kemudian memelototi teman lamaku tadi.
Aku memang pekerja serabutan tapi jelas bukan tidak punya pekerjaan dan penghasilan. Sebelum menikah, aku dan suamiku sudah sepakat untuk berbagi tugas. Aku ‘di rumah’ dan suamiku bekerja sebagai karyawan sebuah perusahaan.
Suamiku tidak pernah membatasiku untuk berkarya. Aku bisa menulis dan sesekali terlibat dalam sebuah proyek. Sesekali bertugas keluar kota bukan hal yang menyebabkan suamiku mengeluh panjang. Dengan (nampak) senang hati dia membantu mencuci baju dan beres-beres rumah saat aku sedang sibuk. Karena dari hasil itu juga kami menambah isi tabungan kami.
Karenanya, aku benci dikatakan pengangguran. Bukan sekedar tidak suka. Biasanya, kalau aku dikatakan pengangguran atau ada orang yang mengasihaniku karena dikira tidak punya penghasilan aku hanya diam saja. Itu berlaku kalau orangnya tidak akrab denganku atau aku merasa malas dengan orang itu.
Diamku, kadang adalah menahan rasa jengkel dan menyimpan dendam di hati. Kalau orangnya akrab denganku, aku biasanya blak-blakan mengekspresikan kekesalanku sehingga tidak ada marah yang perlu mengendap.
Lingkunganku, adalah lingkungan di mana perempuan itu bekerja. Mereka harus berpendidikan tinggi dan minimal memiliki pekerjaan tetap. Bahkan setelah menikah, perempuan tetap harus bekerja supaya bisa membantu suami menyicil rumah dan kebutuhan lainnya. Soal anak dan urusan domestik lainnya? Bisa menyewa orang.
Aku kemudian menceritakan hal ini pada seorang teman. Temanku kemudian berkata, “ya, jadi emang penting untuk hati-hati dengan kata emansipasi. Seperti halnya orang-orang gak boleh menghakimi ibu pekerja, orang-orang juga jangan sampai merendahkan ibu rumah tangga.”
Temanku itu adalah seorang ibu rumah tangga dengan 2 orang anak. Anak sulung bersekolah di bangku kelas 2 SD dan anak bungsunya berusia 3 tahun.
“Orang ngatain aku, ‘kok gak kerja?” lanjutnya. “Yo sekarang, kalau aku kerja anakku sama siapa? Cari asisten rumah tangga itu gak mudah, lho.”
Aku mengangguk setuju. Ibuku adalah seorang guru. Selama periode tertentu kami sering berganti asisten rumah tangga. Agak banyak konflik yang dihadapi ibuku dengan para asisten rumah tangga yang datang ke rumahku silih berganti. Itu membuatku, sebagai anak, merasa tidak nyaman.
“Orang bilang, bekerja itu untuk aktualisasi diri,” lanjutnya lagi.
“Tapi ya sekarang penting mana aktualisasi diri sama anak-anakku? Ya aku sih selama penghasilan suamiku masih cukup ya aku fokus sama rumah. Aku punya hobi yang bisa menghiburku kalau lagi suntuk juga sih.
Intinya sih, kalau emansipasi memang perlu diperjuangkan. Gak masalah seorang perempuan mau menempuh pendidikan setinggi langit dan menjadi astronot. Namun ketika dia mulai berumah tangga, mulai untuk hidup berdua dengan orang lain, ada hal-hal yang harus dikompromikan. Kamu juga. Kamu kan udah sepakat sama suami kamu, jadi ya jalani aja seperti apa kesepakatannya. Bodo amat aja lah sama omongan orang.”
Kami kemudian membahas ibu-ibu yang rewel di sosial media atau yang suka bertengkar dengan ibu-ibu lain di sekolahan anaknya. Menurut kami, ibu-ibu tersebut suntuk dengan pekerjaan rumah tangganya namun tidak punya pelampiasan yang tepat. Ibu-ibu pekerja jarang yang seperti itu karena energi mereka sudah habis untuk pekerjaannya.
Aktualisasi diri dan penyaluran emosi tidak harus dengan pekerjaan. Ibu-ibu rumah tangga bisa juga ikut kegiatan sosial yang tidak terlalu mengikat. Atau ikut kelompok-kelompok hobi.
“Agak susah emang kalau ibu rumah tangga yang pengetahuan dan informasinya kurang,” kata temanku. “Makanya, walaupun seorang ibu rumah tangga, perlu juga punya pendidikan yang tinggi.”
Aku kemudian merenungkan kata-kata temanku. Oke, aku akan berhati-hati dengan emansipasi dan jangan sampai melukai hati orang. Dan nampaknya, aku perlu baca buku ‘Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat’.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di kompasiana.com