Pagi ini azan subuh berkumandang. Seolah saling bersahutan dari satu masjid ke masjid lainnya. Dari satu musala ke musala lainnya. Terdengar indah.
Saya terbangun lalu tersadar kalau hari ini adalah awal september, bulan pernikahan saya dan Meita. Tidak terasa hampir satu tahun kami menikah. Ya betul, terkadang saya merasa waktu berjalan begitu cepat.
Tidak terasa juga sudah hampir satu tahun kami mengontrak di rumah petak dengan dua ruangan yang berwarna cat kuning ini. Setelah menikah, kami memutuskan untuk tidak tinggal di rumah orang tua. Ya, memang begitu seharusnya. Menempuh hidup baru.
Kami yakin ini semua demi kebaikan dan kesehatan rumah tangga kami dan juga demi kebaikan rumah tangga keempat orang tua kami.
Bagi saya jauh dari bapak adalah sebuah refleksi diri. Mengukur kemampuan diri dalam menjalani hidup di dunia yang sudah bobrok ini. Sekuat apa diri ini? Yang pasti saya selalu merasa lebih lemah dari kedua bapak saya yang bijak bestari itu.
Beginilah hidup, “Seorang anak selalu terlahir untuk mengepakkan sayapnya, melenggang, meninggalkan induknya. Sekalipun induknya dalam kesepian yang teramat sangat.” (Dalam buku Sarapan Pagi Penuh Dusta – Puthut EA)
Sampai saat ini, kami berdua terus menjalani hidup. Terus memupuk rindu untuk kedua bapak kami. Terus merajut cerita-cerita bahagia yang akan kami bawa sebagai buah tangan ketika berkunjung ke rumah kedua bapak kami.