Diri ini, yang hanya butiran debu tanpamu, pernah dianggap cacingan. Tangan aku, yang cuma kelihatan tulang, pernah disamakan dengan kayu pohon jambu biji yang mengering. Tulang-tulang rusukku, yang kelihatan ketika membuka baju, sering kali disamakan dengan tengkorak hidup. Padahal ya, Gaes, aku aja nggak tahu tengkorak hidup itu seperti apa. Ya masa sih, aku seburuk itu.
Beberpa orang yang tak bisa menahan diri sering kali menanyakan berat badanku. Ya, aku menjawab apa adanya, dong Gaes. Lalu si penanya dengan penuh percaya diri melontarkan komentarnya, “Laki kok beratnya 43 kilo”.
Tidak hanya itu, pernyataan “Lo tambah kurus aja”, sering kali terontar dari beberapa teman yang jarang bertemu. Padahal dari jaman sekolah (SMK) sampai sekarang, baik dalam kondisi sehat atau sakit sampai harus mondok di rumah sakit pun berat badanku ya segitu-gitu aja. Nggak naik, nggak turun.
Setelah pertanyaan dan pernyataan itu semua sudah biasa aku hadapi. Lalu, ada pertanyaan “Pernikahan lo itu bahagia nggak sih?” pernah terlontar dari seorang teman saya. Sampai di sini, aku tidak akan menjawab. Jelas dong, ini sudah sampai batasan privasi.
Aku punya teman. Teman sepermainan. Di mana ada dia selalu ada aku. Dia yang badannya agak lebih besar dariku (untuk tidak mengatakannya gendut) sering mengalami hal yang sama. Beberapa orang yang mulutnya gatelpun sering kali berkomentar “Itu tangan apa kaki”, “Itu pipi apa bakpau” meskipun setelahnya si pengomentar menyambungnya dengan tertawa.
Baiklah Mailope, kita tahu bahwa semua itu adalah hanya sekedar basa-basi dan bercandaan belaka. Bagi mereka itu sangat lucu dan bisa membuat hidup ini tak kaku seperti kanebo kering. Tapi, bagaimana perasaan si objek? Orang yang dijadikan bahan bercandaan.
Yang pasti ada rasa kesal dan rasa sakit hati. Meskipun kita (Iya, kita) harus tetap tertawa dan masuk ke dalam kondisi basa-basi atau candaan tersebut. Meskipun kalimat “Jangan dimasukan ke hati” selalu teriring dari para sahabat yang memahami isi hati ini. Inginku teriak. Inginku menangis. Tapi air mataku sudah tiada lagi.
Mbok Ya, aku kudu piye? Sementara jutaan orang lain mengalami hal yang sama. Body shaming.
Menurut Cambridge Dictionery, Body Shaming adalah mengkritisi seseorang beradasarkan bentuk, ukuran dan tampilan tubuh mereka. Pada umumnya Body shaming merujuk pada kasus penghinaan atau ejekan. Ironis pelaku adalah orang-orang terdekat kita: Kakak, adik, kolega, teman kerja, teman sepermainan, mantan (Halah, mantan), dan sebangsanya. Amat disayangkan lagi banyak orang yang tidak menyadari lelucon dan bercandaanya itu termasuk dalam body shaming.
Dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebutkan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
Sementara itu, ancaman pidananya terdapat dalam Pasal 45 Ayat 3: “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.
Sehingga pelaku body shaming bisa dilaporkan dengan undang-undang pasal ini. Tetapi apakah Pak Polisi yang bijak bestari itu akan menanggapi secara serius kasus ini. Sementara kasus pemerkosaan yang marak saja tidak ditanggapi dengan serius.
Di Indonesia pelaporan terhadap penghinaan citra tubuh masih tergolong minim. Team riset Tirto.id menemukan setidaknya dua laporan terkait dengan kasus ini. Pada tahun 2009 seorang pria bernama Ujang Romansyah dilaporkan ke Polresta Bogor. Dia diduga melakukan pencemaran nama baik melalui Facebook. Yang kedua, pada 26 Juli 2018 Maulina Pia Wulandari melaporkan SR, karena terlapor mengedit foto pribadi Pia. SR kemudian mengunggah foto tersebut dengan keterangan yang terkesan menghina citra tubuh Pia.
Sampai saat ini aku belum menemukan apakah pelaku-pelaku body shaming ini ditetapkan sebagai tersangka atau tidak. Karena tidak ada kelanjutan beritanya.
Satu bulan lalu aku membaca berita di kompas.com tentang seorang anak yang memilki keistimewaan menjadi korban pemerkosaan, dan pada saat berita itu diturunkan (17 Oktober 2018) pelaku masih belum ditangkap polisi. Padahal, kejadian yang menimpa korban terjadi sejak tanggal 2 September 2018.
Agaknya jika kita sebagai korban menindak lanjuti kasus body shamingpada pihak yang berwajib, ini akan menjadi perjalanan yang sangat panjang. Kita harus benar-benar siap tempur untuk mencari jalan keadilan di negeri, yang pada kenyataannya, keadilan menjadi hal yang sangat mahal untuk didapatkan. Padahal ia bisa didapatkan secara cuma-cuma.
Pada akhirnya, kembali lagi kediri kita sendiri sebagai manusia yang mampu mengendalikan air, api, angin, dan tanah emosional agar hal-hal semacam body shaming tidak berlanjut pada pihak yangberwajib. Tersinggung atau marah ya tentu saja boleh, ini manusiawi kok. Tohini menjadi batasan agar orang-orang tidak melangkah terlalu jauh dibalikselimut kata bercanda. Kita hanya perlu batasan.
Celoteh ini pertama kali dipublikasi di kompasiana.com