Perpus

Meneropong Jepang Masa Lalu Melalui Novel Rainbirds

cover rainbird.jpg
(Sumber ilustrasi: e-book rainbirds dari ipusnas dan gambar diolah dari pxhere)

“Saya mau tanya sama yang sudah baca novelnya Clarissa, karakter dalam novel ini Jepang banget nggak sih?” tanya Pak Fadjar I. Thufail, navigator Japanscope #13 hari Sabtu ini. Japanscope #13 yang diselenggarakan 23 Februari 2019 mengambil judul Creative Production Inspired by Japan: What and How?

Salah satu pembicaranya adalah Clarissa Goenawan, penulis novel Rainbirds yang bulan lalu baru selesai aku baca.

Aku akan ceritakan sedikit tentang novel ini. Rainbirds adalah cerita seorang pria bernama Ren Ishida yang mencoba menapaki jejak Keiko Ishida, kakaknya yang meninggal dibunuh orang, di Akakawa, Jepang. Ren dan Keiko, sebenarnya sangat dekat. Karena orangtuanya yang tidak akur, Keiko berperan sebagai kakak juga sebagai ibu untuk Ren saat mereka masih sekolah. Begitu Keiko lulus kuliah, Keiko segera pergi dari Tokyo dan tinggal selama 11 tahun di Akakawa.

Selama itu, Keiko menelpon Ren paling tidak seminggu sekali. Namun saat menghadapi detektif yang menangani kematian Keiko, Ren nampak asing dengan Keiko. Dia tidak tahu apa-apa tentang kakaknya.

Inilah premis dari cerita ini, menurutku. Seseorang dekat dengan kita. Namun ketika dia menghilang kita baru sadar bahwa sebenarnya, kita tidak tahu banyak tentang orang ini.

Aku rasa, premis ini kuat dengan dukungan latar belakang di Jepang. Dalam diskusi, sempat disinggung bahwa kebanyakan novel yang ditulis oleh orang Jepang itu dark. Stereotipenya, orang Jepang itu muram karena perasaan kesendirian mereka.

Mbak Clarissa Goenawan, penulis buku ini, adalah orang Indonesia yang tinggal di Singapura. Saat sesi diskusi, aku bertanya pada Mbak Clarissa apakah beliau pernah ke Jepang. Suasana dalam novel itu, Jepang banget. Tadinya, kukira Mbak Clarissa tinggal di Jepang selama berbulan-bulan dalam menyelesaikan novel ini.

Aku belum pernah ke Jepang, sih. Aku udah lama banget nggak nonton Dorama Jepang. Aku jarang baca manga (paling Doraemon) dan novel terjemahan dari Jepang. Jadi aku nggak mau sok tahu. Tapi yang aku tahu, Jepang itu ya seperti yang digambarkan di novel Rainbirds . Di Jepang, ada pekerjaan unik misalnya saja model tangan, profesi yang digeluti oleh ibu dari Seven Star, anak bimbingan Ren yang naksir padanya.

Selebihnya, aku rasa malah aku yang belajar tentang Jepang dari novel ini. Misalnya bagaimana Ren masih menghormati Keiko meskipun Keiko sudah menjadi abu. Ren tidak mau melarung abu Keiko di laut karena Keiko tidak bisa berenang. Mungkin memang begitu karakter orang Jepang. Mereka menghormati orang yang sudah meninggal sekalipun.

Menurut Mbak Clarissa, walaupun latar belakangnya adalah kota imajiner dan di masa lampau, namun Mbak Clarissa melakukan riset yang mendalam untuk novelnya. Pada tanggal berapa bulan penuh di Jepang? Pada tanggal berapa bulan sabit? Bagaimana sistem pendidikan di Jepang pada masa itu? Bagaimana prosesi pengurusan jenazah di sana?

Aku kemudian mengerti mengapa novel ini bisa bernuansa ‘Jepang banget’ walaupun bukan ditulis oleh orang yang tinggal di Jepang. Karena Mbak Clarissa memikirkan setiap detail dari novelnya. Hal ini tidak lepas dari hobi Mbak Clarissa membaca manga dan novel-novel yang ditulis oleh orang Jepang.

Kalau ada yang pernah membaca review novel ini, entah di Goodreads atau di blog, ada beberapa orang yang tidak menyukai tokoh Ren. Mereka menilai Ren sebagai playboy tanggung.

Entahlah, tapi aku merasa Ren bukan playboy. Kalau kemudian dia bercinta dengan teman sekelasnya ketika SMA atau dia menemani temannya yang mau menikah berkencan di hotel, aku rasa itu tidak menunjukkan kalau dia playboy.

Kalau Ren adalah orang Indonesia, mungkin Ren bisa dibilang playboydengan apa yang dilakukannya. Namun untuk ukuran orang Jepang, menurutku tidak juga. Aku pernah mendengar kalau anak SMA di Jepang itu populer kalau mereka sudah pernah bercinta. Terlepas dari itu, Ren masih “punya malu” untuk bercinta dengan muridnya. Ini juga mengingatkanku kalau “malu” adalah budaya orang Jepang. Mereka berpikir panjang sebelum melakukan “skandal”.

Jadi apakah karakter dalam novel ini Jepang banget? Menurutku (dengan keterbatasan pengetahuan yang aku punya), sih, iya.


Tulisan ini pertama kali dipublikasi di kompasiana.com

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s