Perpus

Membaca Kisah Perempuan dalam “Waktu untuk Tidak Menikah” di Hari Perempuan Internasional

IMG_20190307_113936
(Foto: Dokumen pribadi)

Kemarin, tanggal 8 Maret 2019, di Hari Perempuan Internasional, aku menyelesaikan membaca buku “Waktu Untuk Tidak Menikah”. Sebuah kumpulan cerpen tentang perempuan antimainstream yang ditulis oleh Amanatia Junda dan diterbitkan oleh Buku Mojok.

Pertama, mengapa aku sebut buku ini antimainstream? Karena buku ini menceritakan kisah-kisah yang tidak berakhir bahagia. Mungkin dia bahagia dengan caranya tapi yang pasti bukan kebahagiaan umum yang banyak orang tahu.

Berikan aku waktu untuk menceritakan kisah yang berjudul “Waktu Untuk Tidak Menikah”. Ceritanya tentang Nursri, seorang buruh pabrik berusia 28 tahun yang “dipaksa” menikah oleh orangtuanya dengan seorang kondektur bus jarak jauh. Nursri tidak mengenal secara mendalam tentang calon suaminya. Di pagi hari menjelang pernikahannya, Nusri mulai meragukan keputusannya untuk menikah.

Dia mendengar istri mantan pacarnya yang berteriak meminta uang, dia kepikiran dengan cita-citanya untuk membuka modiste, dia memikirkan teman-teman buruhnya yang berorganisasi, dia memikirkan rumah sahabatnya yang menjadi sasaran amuk warga, dia melihat kakak laki-lakinya yang bermesraan dengan laki-laki juga, dan terakhir dia mendengar kabar kalau anak angkatnya sakit. Kabar terakhir itu yang kemudian membulatkan tekadnya untuk tidak jadi menikah dan pergi dari rumah orangtuanya.

Kemudian ada kisah berjudul “Pengintaian”. Kisah ini bercerita tentang seorang gadis yang mengintai seorang nenek-nenek yang dia temui di warung burjo. Bukan kisah yang luar biasa karena nenek-nenek ini hanya nenek-nenek biasa. Yang membuat kisahnya menjadi luar biasa adalah khayalan gadis ini tentang nenek-nenek yang berpakaian sangat sederhana dan menerima sedekah dari tukang pijat si gadis.

Sudah mengerti kan mengapa kisah ini antimainstream? Di kala banyak perempuan di sekitarku yang mengidam-idamkan sebuah pernikahan (atau dibuat mengidamkan pernikahan), Nursri memilih untuk meninggalkan panggung pelaminannya. Di saat kebanyakan perempuan yang aku tahu sibuk mengintai laki-laki yang disukainya, gadis dalam cerita “Pengintaian” ini malah mengintai nenek-nenek penerima sedekah yang misterius.

Yang terakhir adalah kisah yang berjudul “Lantai Tiga Beringharjo”. Kisah tentang seorang pedagang di lantai 3 Pasar Beringharjo bernama Rahayu yang suka membaca. Dia ditinggal oleh suaminya ke Korea untuk melarikan diri dari kebangkrutan. Rahayu tidak lantas menjadi kaya raya dengan berdagang dan mendapatkan suaminya lebih baik dari suaminya yang pergi. Suaminya yang pergi pun tidak lantas kembali. Hanya ada Rahayu dan hidupnya yang sudah cukup walaupun tidak berlebihan.

Aku termasuk perempuan yang biasa saja. Sesekali berprestasi dalam akademik tapi hal itu tidak membuatku menjadi luar biasa. Aku tetap menjalani hidupku yang begini saja. Sebelum menikah, kisah cinta jarang menjadi kisah yang mendominasi hidupku.

Hidupku lebih banyak berkutat dengan buku-buku, isu-isu yang santer di media sosial, dan mencoba banyak makanan yang dijual di sekitarku. Kericuhan dalam hidupku lebih banyak berasal dari tempat kerja. Jadi, membaca cerita-cerita dalam kumpulan cerpen ini, membuatku merasa tidak sendirian.

Aku rasa, cerpen-cerpen di sini potensial untuk dijadikan cerita yang lebih panjang. Novel, barangkali. Sebab tokoh-tokoh dalam cerpen di sini terlihat memiliki karakter yang kuat. Hanya saja mungkin kalau dibuat cerita yang lebih panjang, kisahnya bisa dibuat menjadi lebih kompleks supaya pembaca tidak jenuh.

Jangan salah, beberapa pembaca mungkin bosan dengan kisah yang ‘fantastis’ namun kalau terlalu apa adanya juga membuat pembaca kurang greget. Hahaha/

Buku ini menarik untuk dibaca oleh perempuan dewasa maupun perempuan dewasa muda yang sering membayangkan kisah cinta yang bahagia selama-lamanya seperti di cerita dongeng princess.

“Kadang-kadang, memang selalu ada waktu untuk tidak berkasih.

Untuk tidak bercinta, untuk tidak menikah.

Lagi pula, kisah cinta yang melulu indah itu kata siapa?”


Resensi ini pertama kali dimuat di kompasiana.com

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s