
Laki-Laki yang Tak Berhenti Menangis: Sebuah Renungan Sebelum Tidur
“Ketika kebencian merajalela, kedengkian meningkat, dan fanatisme terhadap agama memuncak, Cak Rusdi hadir membagikan kisah-kisah yang tak hanya menyejukan hati melainkan mengajak manusia untuk berserah diri kepadaNya”. Begitulah kalimat yang tertulis pada sampul belakang ‘Laki-Laki yang Tak Berhenti Menangis’.
Buku dengan 115 halaman ini memuat 23 kisah islami penyejuk hati. ‘Laki-Laki yang Tak Berhenti Menangis’ hadir sebagai cermin kehidupan bagaimana hubungan kita sesama makhluk hidup, sesama manusia, sampai ke tingkat lebih tinggi lagi, hubungan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Setiap kisah dalam buku ini dituliskan dengan bahasa ‑menurut saya‑ yang ringan dan mudah dicerna. Kadang beberapa kisah terasa seperti dongeng sebelum tidur. Beberapa kisah lainnya tersaji seperti nasihat-nasihat dari guru mengaji. Nasihat yang mencerahkan, nasihat yang memberikan sebuah ruang bagi pembaca untuk merefleksikan diri.
Banyak hal yang diangkat oleh Cak Rusdi, begitu Rusdi Mathari dikenal, dalam buku ini. Hampir semua kisah terasa begitu dekat dengan lingkungan kita: fitnah, rasis, minoritas, zina, dan masih banyak yang lainnya. Tentu semua kisah-kisah tersebut syarat akan makna yang bisa kita tarik dalam kehidupan.
Baru saja selesai membaca daftar isi. Saya langsung suka pada kisah di halaman pertama, berjudul ‘Fitnah’. Mengisahkan seorang pemuda yang meminta maaf pada Abu Nawas karena sudah memfitnahnya. Abu Nawas memafkan pemuda itu. Tapi dengan dua syarat. Pertama, si pemuda diminta mengoyak sebuah bantal dan mengeluarkan isinya. Kedua, pemuda itu diminta memungut seluruh isi bantal dan memasukannya kembali.
Dan sudah bisa dipastikan, pemuda itu tidak bisa memungut kembali seluruh isi bantal yang terkoyak. Kehormatan diri, harga diri, nama baik seseorang yang difitnah akan rusak dan menyebar begitu saja. Seperti yang sering kita dengar, orang akan lebih mudah melihat satu titik hitam dalam satu lembar kertas putih yang bersih. Bak bantal yang terkoyak isinya berhamburan kemana-mana. Begitulah fitnah bekerja, kita tidak akan bisa mengembalikan muru’ah orang yang sudah kita fitnah seperti sediakala.
Membaca dari satu kisah ke satu kisah lainnya semakin membuat saya wajib memiliki sikap dan rasa tawadhu. Tidak ada makhluk yang sempurna. Meskipun kita, manusia selalu mengelu-elukan makhluk paling berguna. Terkadang rasa pongah kita muncul tatkala melihat makhluk hidup lain yang rupanya tidak lebih baik dari kita. Cak Rusdi mengingatkan kita kembali akan hal itu dalam kisah yang berjudul ‘Kambing’.
Syahdan, ketika nabi Nuh as hendak menanam pohon, nabi Nuh as tidak menyadari kedatangan seekor kambing. Kambing yang istimewa, berkaki lima (tiga di depan dan dua di belakang), bermata tiga, dan mulutnya mencong.
Nabi Nuh as tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.”Jelek banget sih kamu kambing. Kakimu ada lima. Matamu tiga. Mulutmu mencong.”. Begitulah kira-kira yang terucap oleh Nabi Nuh as.Lalu si kambing bersuara layaknya manusia, “Hai Nuh, rupaku memang jelek, dan menurutmu aku mungkin juga makhluk tidak berguna. Tidak bisa berbuat apa-apa sepertimu, tapi apakah kamu lupa wahai manusia berguna?”
“Lupa tentang apa?
“Penciptamu dan penciptaku sama.” (Hal 72).
Sari pati kisah ini begitu dekat di lingkungan kita. Acap kali kita menemukan teman, saudara, atau kolega begitu mudahnya mengolok atau menertawakan rupa seseorang atau rupa makhluk hidup lainnya dengan mudah.
Menjadikan semua itu bahan hiburan. Sebuah kelucuan yang diparodikan dalam situasi. Berlindung dalam kata bercanda, mungkin sekali orang tersebut akan menerima. Tapi jika sudah berkali-kali ditertawakan, diolok, bahkan sampai sesering mungkin. Bukan bercanda dan kelucuan lagi yang dihasilkan, melainkan jatuhnya derajat seseorang.
Sering kali kita melawati batas sewajarnya dalam tertawa sebab bercanda. Jika ada yang memiliki fisik istimewa, pasti akan ada yang lebih istimewa lagi. Itulah kebesaran Tuhan. Kita sering lupa bahwa pencipta kita itu sama.
Kemudian dalam kisah yang berjudul ‘Agama’, mengisahkan masa kecil Cak Rusdi dimana “baju” dalam beragama begitu kontras terlihat. Cak Rusdi yang orang tuanya berlatar belakang Muhammadiyah hidup dalam lingkungan NU.
Dalam kisah itu betul-betul memberi sedikit titik terang di hati saya bahwa dalam beragama, meskipun satu agama, yakni Islam, kita harus memalingkan pandangan dari “baju” sesama saudara seiman.
Bahwa pada dasarnya Tuhan kita tetap sama, Allah SWT. Apakah masih ada yang merasa kelompok A, B, atau C yang paling benar? Sebaiknya kita jangan menghakimi apakah kelompok A, B, atau C yang salah. Pada dasarnya semua tidak ada yang salah.
Kelompok A benar karena punya dasar ajaran dan pemahaman sendiri. Begitu juga B, dan C punya dasar ajaran dan pemahaman masing-masing. Lantas rasanya tidak elok apabila kita saling mengkafirkan satu sama lain dan menuduh ajaran yang tidak sepaham dengan kita adalah sesat.
Seringkali kita melihat dimimbar-mimbar, masjid-masjid, media sosial mengkhotbahkan bahwasannya islam adalah agama pembawa rahmat sembari mencibir orang-orang yang beda pemahaman sebagai bahaya yang mengancam. Pada dasarnya, bukankah tuhan kita sama? Nabi kita sama? Kitab suci kita sama? Lalu kenapa kita masih saling membedakan?
“Kebencian, dendam, dan fanatisme, memang bisa muncul dari kelompok mana saja tanpa alasan apapun.” (Hal 21)
Terlepas dari profesinya sebagai wartawan, Cak Rusdi begitu piawai menuliskan kisah-kisah islami yang membuat pembaca bercermin. Buku ‘Laki-Laki yang Tak Berhenti Menangis’ ini begitu memberi kesan kepada saya ‑sebagai pembaca‑ bahwa Cak Rusdi memiliki keilmuan yang dalam tentang agama.
Dalam tulisan yang berjudul ‘Ilmu’, Cak Rusdi mengingatkan kita tentang keutamaan ilmu daripada harta. Cak Rusdi menuliskan kisah Nabi Muhammad SAW yang menyatakan tentang keutamaan ilmu dibandingkan harta dan amalan lainnya.
“Membaca Alquran adalah amalan orang yang cukup kemampuannya. Salat adalah amalan orang yang lemah. Puasa amalan orang-orang fakir. Bertasbih amalan perempuan. Sedekah amalan orang kaya. Tafakur amalan orang lemah.” (Hal 77)
Bagi saya buku ini hadir sebagai penawar dari panasnya suasana saat ini. Suasana fanatisme agama dan politik yang bereaksi menjadi satu. Ketika islam dengan mudah mendapatkan kesan keras, ada kisah ‘Minoritas’ yang mampu mendinginkan hati.
Ketika di kehidupan dunia kita ramai dengan berita prostitusi, lalu orang-orang dengan enteng bisa menghakimi, kisah ‘Pezina’ hadir sebagai introspeksi. Cak Rusdi mengajak kita untuk bertanya pada diri kita sendiri. Mengapa kita ‑manusia‑ begitu mudah manghukum manusia lainnya bukan hanya dengan sebutan pezina atau pelacur, melainkan juga melaknatinya?
Dengan hadirnya buku ‘Laki-Laki yang Tak Berhenti Menangis’ dan petuah-petuah di dalamnya saya harap setiap pembaca mampu memetik nilai-nilai kebajikan yang berwujud nyata dalam kehidupan. Soal aqidah memang soal pribadi. Tapi soal beragama, pada dasarnya ditujukan untuk sesama manusia. Bukan untuk kebencian, kedengekian yang saat ini terasa merajalela.
Tabik.
Judul Buku: Laki-Laki yang Tak Berhenti Menangis
Penulis: Rusdi Mathari
Penerbit: Buku Mojok
Cetakan Pertama: Januari 2019
Tebal: vii + 115 halaman
Dimensi: 13 x 19 cm
ISBN 978-602-1318-80-5
Tulisan ini pertama kali dimuat di savanapost.com, Kamis 14 Maret 2019