Sebetulnya saya sudah punya keinginan untuk membuat toko online dan menjadi reseller Buku Mojok, penerbit kecil yang bekantor di Yogyakarta, sejak awal tahun 2018. Semuanya sudah saya pikirkan di tahun itu. Dan keyakinan menjadi semakin yakin, tekad menjadi semakin bulat, setelah baca tulisan Mas Ptuhut EA perihal “Kiat Berbisnis Toko Buku Onlen” di situs Puthut EA Dot Com pada akhir 2018.
Awal tahun 2019, Januari, saya berencana untuk buka toko online di pertengah tahun. Mudah-mudahan bisa di bulan Juni. Perhitungannya, saya harus menabung Rp150.000 tiap bulan. Sehingga di bulan Juni total celengan saya Rp900.000. Tentu saja, nominal itu untuk modal awal.
Namun Tuhan yang maha kuasa berkehendak lain. Syukur Allhamdulillah, saya mendapat rejeki lebih. Mungkin ini adalah bentuk doa saya ihwal toko online. Tanpa pikir panjang lagi, saya segera tunaikan niat saya untuk berjualan buku.
Tidak hanya sekadar keinginan sesaat, terlebih lagi ikut-ikutan orang lain. Ini soal modal, keuntungan, rugi, usaha, dan kehidupan. Kalau sudah menyangkut kehidupan, tidak boleh ada yang namanya “semangat tahi ayam”.
Saya tidak pernah membayangkan apa yang akan saya dapat nanti. Apakah buahnya enak atau tidak. Apakah manis atau asam. Saya lupakan itu semua. Yang saya pikirkan, bagaimana caranya bisa menghidupkan toko buku online ini sampai bisa memberi penghidupan bagi keluarga saya kelak.
Semua yang saya rencanakan di tahun 2018, saya mulai jalankan tepat di tanggal 20 Januari 2019. Logo sudah saya buat. Sosial media dan marketplace juga sudah. Nama sudah saya tentukan. Bukumee namanya, yang berarti Buku Meita Eryanti.
Bukumee baru saja berjalan 3 bulan. Secara teknis saya yang bekerja. Secara ide dan materi Dik Mei yang bekerja. Saya bersyukur sekaligus bahagia, karena Dik Mei selalu bisa menjadi teman bekerja yang baik bagi saya. Dik Mei banyak memberi masukan ini dan itu.
Misalnya, Dik Mei pernah menyarankan Bukumee untuk menjual buku terbitan dari EA Books, Basa-Basi, dan Circa. Tujuannya agar Bukumee bisa jadi jembatan antara penulis dan pembaca. Ya, saya tidak muluk-muluk. Menjadi jembatan meskipun kecil, di Bekasi dan sekitarnya, itu sudah cukup.
Pernah juga Dik Mei menyarankan untuk membuat website seperti Berdikari Books, Dema buku, atau Akal Buku. Tentu, harapannya untuk mendongkrak penjualan.
Yang termutakhir, saya mendapat saran agar Bukumee keluar dari kotak. Untuk menjadikan media sosial Bukumee bukan hanya sekadar etalase barang dagangan saja, tetapi juga media penyalur aspirasi akan isu yang sedang hangat. Contohnya seperti Buku Akik yang tempo hari baru saja berulang tahun ke 4.
Wah, saya sangat senang bisa mendapatkan saran-saran itu semua. Penerbit-penerbit yang disebutkan itu sudah menjadi target Bukumee ke depannya. Hanya saja, Bukumee butuh proses. Paling tidak setelah Bukumee merasa cukup mampu untuk menyetok semua judul buku terbitan Buku Mojok.
Jika Bukumee sudah berusia satu tahun, Saya dan Dik Mei akan kaji lagi. Bagaimana omset yang dihasilkan selama satu tahun? Bagaimana cash flow-nya Bukumee? apakah berantakan atau tidak? Bagaimana grafik penjualan dalam setahun? Jika semua itu sudah cukup baik dan Bukumee mendapat tempat di hati pelangan, lalu membuat website dan menjadi reseller penerbit lain, kenapa tidak?
***
Bukumee menjadi harapan sekaligus semangat baru bagi kehidupan kami. Dik Mei seringkali memberi saya inspirasi. Baik secara sengaja atau tidak sengaja. Banyak hal yang sudah saya kerjakan untuk Bukumee atas dasar inspirasi dari Dik Mei.
Beberapa akhir pekan yang lalu, Dik Mei bertanya kepada saya, “Lagi baca buku apa, Kak?” Jujur saja, saya agak kik-kuk untuk menjawab pertanyaan itu. Sebab saya memang sedang tidak membaca buku. Kira-kira dua minggu terakhir ini selera saya untuk membaca agak menurun.
Lalu saya teringat kalau stok pembatas bukunya Bukumee habis. Entah angin dari mana, pertanyaan itu menjadi sebuah wujud pembatas buku ini.
Loh, kalau Melan itu siapa?
Hemm, gini, gini, Bukumee memang sedang kami rintis. Kami belum bisa membayar admin dan sebetulnya juga nggak membutuhkan orang lain untuk menjadi admin. Cukup kami berdua saja, mulai dari IG, FB, Tokopedia, sampai WA kami pegang berdua.
Sesekali ada pembeli yang bertanya, kira-kira begini, “Ini kaka siapa ya? Boleh tau namanya biar chatnya bisa lebih akrab.” Dengan spontan, saya jawab saja “Namaku Melan”. Ya, minimal pembeli tahu kalau dia sedang chat dengan seorang manusia, bukan robot. Siapa tau pembelinya mau curhat. Kalau lagi selow, ya kami tetap layani.
Melan sebetulnya akronim deri nama kami berdua: Meita dan Allan. Ya, saya cuma berpikir kalau di Buku Mojok ada si Romlah, Buku Rakjat ada Melly, Mojok Store punya Susi, lalu Bukumee yaaaaa: Melan.
Eit, jangan dibribik ya, Melan ini cuma tokoh fiksi kami berdua. Tapi kalau mau ngasih hadiah buat Melan, tentu saja kami ijinkan dan pasti tidak menolak. Sebab Melan sedang bekerja keras untuk mengepak buku-buku ini dengan penuh kebahagian. Melan ikat dengan pita agar kebahagian para penulis terikat dengan para pembaca.
***

Beberapa akhir pekan kami lewati untuk menunggu Abang kurir yang mengantar paket dari Buku Mojok. Terlebih lagi kalau Buku Mojok sedang buka Pre Order. Saat itu, selagi saya sedang tidur siang. Abang JNE datang.
Abang JNE membawakan sebuah kardus yang berisi Paket SA buku NKSTHI. Dik Mei yang menerima paket itu. Tidak lama, saya dibangunkan dari tidur. Katanya, “Kak, tolong bantu!”
“Bantu apa, Dik?”
“Tolong dokumentasikan.”
Saya ambil ponsel milik Dik Mei. Masuk menu camera. Lalu, 1, 2, 3, cekrek. Cekrek. Gambar berhasil saya ambil. Saya lanjut rebahan. Tiba-tiba Dik Mei mematikan kipas angin yang sedang menyala itu. Kemudian dia bilang, “Ayo dong, kamu jangan males. Ayo kita mengepak. Katanya mau berwirausaha, masa males.”
“Oh, aku nggak males. Aku lagi istirahat, Dik.”
“Hah? Istirahat? Tidur-tiduran dari pagi, istirahat?”
“Iya, iya, aku maless.” Okey, ini pengakuan saya. Murni. Tanpa paksaan. Sifatnya hanya untuk mendamaikan hati Dik Mei.
Dari raut wajahnya, Dik Mei mulai judes. Agaknya dia mulai naik pitam. Sebelum dia meledak, saya segera mengumpulkan tenaga dan mulai mengepak buku-buku yang akan kami kirim ke jasa ekspedisi sore ini. Tapi saya masih bingung, kenapa sih, orang suka marah sama orang malas. Padahal orang malas kan nggak ngapa-ngapain.
***

Akhir pekan yang disibukan dengan mengepak buku-buku bisa kami lewati. Hasilnya pun lumayan. Allamdulillah, yah. Namun bukan bearti akhir pekan berikutnya bisa leyeh-leyeh. Saya dan Dik Mei punya jadwal untuk merapihakan buku-buku. Menyortirnya lalu mengumpulkannya jadi satu tempat. Saat pekerjaan sedang berlangsung, saya terkejut pada apa yang Dik Mei lakukan.
“Wah, Nyonyah. Aku bisa muat di kontainer ini. Hahahaa.” Seru Dik Mei.
“Wah iya.. Padahal kotaknya udah gede bgt, yaa.”
“Maksudnya?”
Saya tertawa. Dik Mei manyun. Saya lanjut menyusun buku berdasarkan penulisnya. Dik Mei lanjut menyusun buku berdasarkan penerbitnya. Saya mengisi kotak yang kecil. Dik Mei mengisi kotak yang besar. Kotak yang berwarna hijau itu, khusus buku-buku kulakan kami. Dan kotak yang berwarna putih itu diisi dengan buku-buku koleksi kami.
Tidak membutuhkan waktu lama, pekerjaan kami selesai. Serpihan-serpihan seperti kapal pecah itu sudah rapih. Saya merasa senang bisa selalu bekerja sama seperti ini. Ya, walaupun cukup menguras tenaga. Untuk melepaskan dahaga, kami membeli es jus buah yang berjualan di dekat tempat tinggal kami.
Kemudian sambil minum jus yang masih segar itu, Dik Mei Bilang, “Wah, Nyah. Ternyata di kotak putih ini kita masih punya banyak ruang kosong.”
“Maksudnyaaaaaaaa….?”
Dik Mei tertawa. Saya juga tertawa. Kami lanjutkan acara meminum jus buah hingga tandas. Sungguh, kedamaian ini benar-benar nikmat. Allhamdulillah. Terima kasih, ya Allah.
Tabik.