
Sebetulnya hari ini saya mau liburan. Nyantai sejenak, terus tidur siang. Tapi, kemarin (sabtu) abang JNE Datang. Mengantar paket yang isinya kulakan bukumee. Satu diantaranya adalah buku ‘Omong Kosong’ ini. Dan saya harus membuat semacam gambar untuk dipajang di IG Bukumee.
Hoaammm~
Sebenranya saya mager dan ngantuk. Rasanya mau tidur aja. Tapi untuk melatih mental berwirausaha, semua harus dilawan. Kata orang, cobalah cari sesuatu yang bikin rasa kantuk hilang. Kopi pilihan paling tepat, tapi kan saya mager.
Ya udah, di depan mata saya cuma ada buku ini. Saya coba baca bukunya Prima Sulistya. Efeknya lumyan cukup seger. Meskipun saya udah baca berkali-kali. Rasa tulisannya masih tetap segar dengan narasi yang dibangun secara kreatif.
Atas dasar buku ‘Bahagia Mengerjakan Hal Sia-Sia’ inilah saya pasang latar warna kuning pada desain gambar. Melambangkan ceria. Suasana hati saya saat ini. Ya, saat ini.
Nggak ada sangkut pautnya dengan isi buku ‘Omong Kosong’. Saya juga belum baca bukunya. Jadi nggak tahu isinya itu ceria atau kisah kelam. Tapi, tapi, tapi, ya cukup masuklah yah, toh tulisan di kaleng sarden pada buku ‘Omong Kosong’ masih berwarna kuning. Hassh, cuma pembelaan.
Padahal Dik Mei anti warna kuning. Katanya, kalo pakai motor, mobil, atay baju yang warnanya kuning, dia takut disentor orang pake air di jalan. Atuhlah dikira tahik kali, yah~
Omong-omong soal warna kuning, saya tuh suka. Tapi nggak pake banget. Bagi saya warna kuning itu menarik perhatian. Istilahnya ngejreeng di mata. Mencolok. Dan warna kuning melambangkan pribadi sanguinis yang ceria, rame, dan cerewet. Loh, padahal saya ini plegmatis. Tapi saya tidak suka warna hijau yang melambangkan pribadi plegmatis.
Suatu hari saya pernah naik motor berdua sama Dik Mei. Dik Mei yang nyetir, saya yang bonceng (Loh, kok kebalik?). Motor melaju dengan kecepatan 25 km/jam. Lalu ada honda Jazz warna kuning lewat. Saya bilang ke Dik Mei, “Nyah, Jazz-nya kuning. Keren.”
“Hassh~, nanti disentor orang.”
Mendengar jawaban itu saya cuma bisa diam. Dik Mei lanjut menyetir motor. Saya tetap bonceng. Kemudian ada honda vario 150 warna kuning berpapasan dengan kami. “Nyah, vario-nya kuning. Catnya apik.”
“Hashhh, nanti disentor orang lagi.”
Aku cuma diam mendengar cibirannya. Dik masih lanjut nyetir. Saya masih duduk manis bonceng di belakang. Tidak terasa kami sampai di rumah. Tanpa kita sengaja, rumah kontrakan kami ini berwarna kuning, loh. Sudah dari awalnya pemilik kontrakan ini mengecat dengan warna kuning.
Suatu hari, Dik Mei pernah berseru, “Wah untung warna rumah ini kuning. Jadi terang meskipun mendung.”
“Loh, kamu nggak takut disentor orang pak air, Nyah?”
“Pret. Mbel.”
Pada akhirnya warna bukanlah menjadi suatu patokan untuk menyukai atau tidaknya suatu barang. Cocok atau tidaknya dengan subjek. Pas atau tidaknya spektrum sebuah ruangan. Kita bisa menikmati semua warna dengan suasana hati yang berbeda pula.
Tapi, apakah Ini soal suasana hati saja atau memang si pemilik kontrakan cuma punya sisa cat warna kuning di gudangnya. Hassh~ Ra penting.

Temukan buku Omong Kosong karya Robby Julianda di tokopedia.com/bukumee