
Dalam artikelku sebelumnya, aku sudah mengungkapkan bahwa sambat (mengeluh) itu perlu. Terutama sambat pada layanan penyedia jasa atau barang yang tidak memuaskan. Misalnya sambat pada PT. KCI yang sudah membuat banyak orang berjalan kaki dari stasiun Cakung ke stasiun Bekasi lantaran gangguan yang dialami pada hari Selasa, 2 April 2019, lalu.
Nah, seperti janjiku di artikel tersebut, kali ini aku akan membahas buku ‘Nanti Kita Sambat Tentang Hari Ini’ yang baru saja menyelesaikan masa pre-ordernya. Buku ini berdimensi 14,5 x 18 cm, hard cover, penuh dengan ilustrasi lucu, dan full color. Cocoklah dengan harganya yang 120 ribu itu.
Cerita dimulai dari tokoh ‘aku’ berjalan-jalan keliling Jogja dengan skuter kesayangannya. Dalam perjalanan, dia tersendat macet. Dia mencoba untuk tidak mengeluh sampai pada suatu kesempatan, dia berhenti di belakang truk yang bertuliskan, “jika ada bagian-bagian dari hidup yang pantas untuk disyukuri, bukankah ada juga bagian-bagian dari hidup yang patut untuk disambati?”
Saat itu juga dia kemudian berteriak, “macet terooos! Hash! Ramashok!“
Saat itulah dia merasa lega meskipun macet tetap berlangsung. Dia kemudian yakin bahwa tidak ada cara lain untuk memuliakan ketidaksempurnaannya sebagai manusia selain dengan mengeluh. Selanjutnya, buku ini memuat keluhan-keluhan manusia di sela-sela kehidupannya. Di sela-sela kelas, di sela-sela kerja, di sela-sela hati, dan di sela-sela aktivitas lainnya.
Selalu ada hal yang membuat kita sambat. Undangan nikahan yang datang bertubi-tubi, hidup yang begini-begini saja, cuaca yang selalu tidak pas, barang-barang yang mahal, atasan yang menyebalkan, teman-teman yang penuh drama, dan lain sebagainya.
Banyak hal-hal di luar kontrol kita yang membuat hari kita menyebalkan. Saat itu terjadi, sebagai manusia yang tidak sempurna, hati kita akan sangat sulit tidak mengeluh.
Aku teringat seorang teman yang pernah mengunggah sebuah foto yang berisi kondisi kemacetan yang terjadi di depan Metropolitan Mall Bekasi (fyi, jalanan di situ itu hampir selalu macet. Kayaknya lowong kalau tengah malem sampai menjelang subuh doank, deh). Keterangan dalam foto itu adalah: Gak boleh ngeluh, cuma kena macet segitu doank mah, masih mending bisa pulang setiap hari.
Reaksiku spontan setelah membaca unggahan itu adalah: Halah!
Sambat itu nggak apa-apa. Mengeluh itu manusiawi. Kondisinya memang seperti itu, kok. Malah seharusnya, kalau ada pejabat yang mendengar keluhan warga tentang macet ini, dia melakukan sesuatu.
Tulisan paling menarik dalam buku ini menurutku adalah, “kenapa kamu merasa rugi ketika aku mengeluh? Sementara, ketika tiba giliranmu bersyukur, aku juga tidak merasa beruntung” dan “di balik cangkem-mu yang ringan mengucap ‘perbanyak bersyukur, ambil hikmahnya, dan cobalah berfikir positif’, ada aku yang sedang memikul beban berat dalam tiap tutur sambat. Kamu tidak akan pernah mengerti bagaimana aku berjuang melepaskannya”. Kayak omongan orang iri, yah?
Ya, namanya juga tulisan orang yang lagi sambat.
Emang sih, mendengarkan orang mengeluh itu menyebalkan, bikin capek, dan berpotensi menularkan aura negatif. Namun pernah nggak kita membayangkan ada di posisi orang yang mengeluh itu?
Sering di sosial media, aku suka membaca keluhan orang-orang. Ada orang yang mengeluh itu menunjukkan bukan hanya aku saja yang punya masalah dan perlu mengeluh. Kalau ada yang mengunggah rasa bersyukurnya, biasanya malah aku skip. Soalnya, aku jadi merasa makhluk gagal yang pantas minggir sambil berkata, “kapan gue bisa kayak dia, yah?“
Membaca buku ini mengingatkanku pada buku ‘Perihal Cinta Kita Semua Pemula’ yang pernah aku bahas di sini. Tiap halaman berisi satu atau dua kalimat yang quotable dengan ilustrasi yang ciamik. Hanya saja, buku NKSTHI ini tidak melulu berbicara soal cinta. Dan, dalam buku NKSTHI ini ada cerita yang mengantarkan kita untuk memahami buku ini.
Selain berisi sambatan orang-orang, di buku ini kita juga bisa sambat sendiri lho. Ada ruang untuk kita menuliskan hal-hal yang membuat kita sambat. Ruang untuk menulisnya juga penuh dengan ilustrasi. Lucu, kan?
Buat teman-teman yang suka ragu-ragu untuk sambat, bacalah buku ini. Kalian enggak sendirian, kok.