“Gila ih, yang belanja di warung sayur bejubel banget,” kata tetangga sebelah kananku pada pukul 7 pagi, saat aku selesai mengepel teras. “Yang beli ayam sama daging banyak banget…”
“Wah, saya juga pingin beli sayur,” sambutku. “Tapi nanti aja lah, agak siangan…”
Pukul 10 pagi, setelah mengantarkan suami ke stasiun, aku melihat warung sayur di dekat rumahku masih ramai pembeli. Ibu-ibu yang memilih sayur berdesakan di kios yang sempit itu.
Pukul 11 siang, aku datang ke warung itu. Sudah tidak ada orang di warung kecuali 2 orang penjualnya.
“Udah gak ada apa-apa, Mbak,” kata penjual yang badannya agak tambun.
“Saya beli yang ada aja,” jawabku.
Saat aku memilih sayuran yang tersisa, dua orang penjual itu kemudian berbincang tentang banyaknya pesanan, terutama pesanan daging, yang datang menjelang bulan puasa ini. Mereka bukannya tidak senang, hanya heran. Hingga tibalah perbincangan mereka pada pengeluaran yang membengkak selama bulan puasa.
“Kalo puasa tuh makan jadi 2 kali, tapi pengeluaran dapur malah lipet 2,” kata penjual yang lebih kurus.
“Ya gimana enggak, biasanya makan sehari 3 kali, tapi minum air putih cukup. Kalau puasa makan emang dua kali, tapi pas buka harus ada sop buah,” komentar penjual yang agak tambun.
“Iya juga sih, biasanya makan sehari 3 kali pake sayur asem ma teri juga cukup. Sekarang 2 kali sehari tapi makannya harus beda,” tambah penjual yang kurus.
Aku mendengarkan cerita itu dengan seksama.
Di rumah orang tuaku, keluhan ibuku sebenarnya tidak jauh berbeda. Cerita tentang pengeluaran yang membengkak selama puasa. Pasalnya, saat berbuka ibuku menyediakan kudapan, minuman sirup, dan makan besar. Menu makan sahurnya pun cukup niat memasaknya.
Aku kemudian melihat diriku sendiri. Kalau orang lain memiliki target meningkatkan ibadah selama bulan puasa, aku memiliki target yang lebih sederhana. Aku ingin pengeluaranku selama bulan puasa tidak membengkak. Aku ingin di rumahku sendiri, selama bulan puasa kami tetap makan dengan sederhana. Ya sekali-sekali makan sop iga boleh lah….
Esensi dari puasa adalah kita ikut merasakan keterbatasan orang yang tidak seberuntung kita. Kita diminta untuk belajar menahan hawa nafsu. Kalau makananku jadi ‘lebih’ selama berpuasa, aku harus introspeksi diri. Ada yang salah dengan puasaku.
boleh jg nih buat ramadhan taun depan
SukaSuka
Terima kasih sudah mampir ke Rumah kami. Ayo, jadikan tantangan Ramadhan tahun depan. 🙂
SukaSuka