
Dua hari yang lalu, bapak mertuaku memberitahu kalau suamiku dapat undangan untuk mencoblos tapi aku tidak dapat (walaupun aku dan suamiku sudah memiliki KK yang terpisah dari orangtua kami, namun kami masih mengguna alamat mertuaku untuk mempermudah segala urusan administrasi). Suamiku lalu minta tolong bapak mertuaku untuk menanyakan undanganku.
“Kebiasaan mereka, Pak,” kata suamiku. “Kemarin pas pilgub udah nggak dapet. Sekarang nggak dapat undangan lagi. Padahal saya sama Meta kan satu KK. Masak saya dapet Meta enggak?”
Saat pemilihan gubernur Jawa Barat beberapa waktu lalu, aku tidak mendapat undangan untuk menyoblos. Padahal saat itu, aku sudah berpindah KTP dari Jogja ke Bekasi dan sudah mempunyai Kartu Keluarga bersama dengan suamiku. Agak menjengkelkan juga, sih. Aku merasa seperti warga yang tidak dianggap (lebay). Tapi aku tetap ikut pemilihan dengan datang setelah solat lohor.
Pagi ini, ketika aku dan suamiku tiba di rumah mertua, bapak mertuaku bercerita bahwa beliau sudah menanyakan undangan untukku. Namun kata petugasnya, aku diminta datang ke TPS jam 12 saja. Aku hanya mengiyakan. Suamiku harus memperbaiki motor kami. Sepertinya tidak mungkin kalau aku datang ke TPS jam 12 siang. Kalau memang tidak boleh memilih ya sudah. Bukannya masa bodoh, aku hanya tidak berminat merepotkan diriku.
“Kayaknya, mereka masih berpatokan sama data warga yang lama, deh,” kata suamiku mengungkapkan teorinya. “Data dimana aku masih menjadi bagian dari Kartu Keluarga bapak.”
“Kita bikin KK udah lebih dari setahun yang lalu. Aku udah ganti KTP jadi warga sini itu udah lebih dari 1 tahun,” kataku. “Di Jogja, aku udah enggak dapet undangan nyoblos. Dasarnya aja petugas di sini nggak bener.”
Suamiku hanya mengangkat bahu.
Kami lalu keluar rumah untuk berangkat ke TPS. Aku hanya mengantar suamiku, niatnya. Di depan rumah, kami berpapasan dengan tetangga yang tinggal di sebelah kanan rumah mertuaku. Tetanggaku ini bercerita kalau anaknya yang sudah berusia 25 tahun juga tidak mendapatkan undangan untuk menyoblos. Padahal, anaknya ini lahir dan besar di sini. Tetangga yang lain, mendapat 2 undangan dari TPS yang berbeda.
“Kayaknya emang ada yang salah,” ujarku. “Dia yang warga lama aja nggak dapet undangan. Malah ada yang dapet dua, pula.”
Sampai di TPS, suamiku menyerahkan undangan pada petugas dan dia mendapatkan 5 lembar kertas suara. Ketika menunggu antrian, seseorang menghampiri kami dan bertanya apakah aku sudah menyoblos atau belum. Aku menjawab belum karena tidak mendapat undangan menyoblos. Orang yang menghampiri kami tadi lalu menyuruhku untuk mendaftar menggunakan KTP.
“Katanya kalo pake KTP harus jam 12, Pak. Ini masih jam 11,” kataku.
“Enggak apa-apa. Sekarang aja. Udah sampai di sini, kok,” kata orang itu.
“Saya nggak nyoblos juga nggak apa-apa, Pak,” kataku berusaha setulus mungkin. “Saya di sini cuma nemenin Allan, kok.”
“Bisa, kok, Mbak,” ujar orang tadi berusaha meyakinkanku. “Kami dari pihak desa sudah mendata warga dengan benar. Kami lakukan pemutihan dan pembaharuan DPT. Cuman masalahnya orang KPUD nya kayaknya males dan kerjanya asal-asalan. Jadinya kacau. Ada yang dapat 2 undangan, ada yang nggak dapet. Akhirnya, kami yang diprotes warga.”
Aku manggut-manggut mendengar cerita orang itu.
Ya gimana ya? Hal seperti ini ibarat kita sedang berlari estafet. Ada satu bagian yang tidak beres, kacau sudah tatanannya. Dan yang paling enak disalahkan, ya orang yang dekat dengan kita. Siapa lagi?
Akhirnya, aku tahu bahwa orang yang menyuruhku mendaftar dengan KTP adalah ketua KPPSnya. Baiklah, aku kemudian mendaftar dengan KTP, mendapatkan kertas suara, dan menyoblos.
Nasibku lebih baik dari Bu Cucum yang mengalami hal serupa. Namun, ini seharusnya menjadi catatan KPU. Kemarin, Pak Tjip menulis artikel berjudul ‘Tuntut PPLN Bekerja Profesional, Pemilih Juga Sebaiknya Introspeksi Diri‘. Beliau menceritakan pengalamannya mengikuti pemilu di Australia. Nampaknya, bukan hanya PPLN saja yang perlu dituntut untuk bekerja profesional. Petugas KPPS sampai KPU juga harus bersikap profesional. Kasihan orang yang sudah bersemangat seperti Bu Cucum harus kecewa karena tidak ikut ‘berpesta’.