
“Selamat datang di Rumah Lebah. Di sinilah, semua cerita bermula…”
Bab pertama buku “Rumah Lebah” karya Dodi Prananda membiusku untuk ikut tur ke satu sudut kota Planetaria tempat Rumah Lebah berada dan berkenalan dengan pemilik Rumah Lebah, Rama dan Shinta.
Buku terbitan Elex Media Komputindo ini menceritakan tentang para boneka yang ada di Rumah Lebah. Rama, adalah seorang pengrajin boneka. Berbagai boneka lahir dari tangannya yang terampil. Termasuk boneka istimewa bernama Peru yang dia buat khusus untuk istrinya terkasih.
Peru yang merasa istimewa dan tinggi hati, mudah sekali untuk tidak disuka oleh boneka-boneka yang lainnya. Dia lebih sering bermain sendirian. Akhirnya, Rama dan Shinta mencarikan seorang kakak laki-laki untuk Peru. Lalu, hadirlah Seno di Rumah Lebah.
Seno bukan boneka. Dia adalah anak laki-laki manusia yang diadopsi oleh Shinta dari sebuah panti asuhan di pinggir kota. Seno segera akrab dengan Peru dan rajin membantu orangtua angkatnya.
Konflik mulai datang ketika seorang kerabat Rama yang sudah tua renta menitipkan Dara, boneka porselen yang sangat cantik, pada Shinta. Peru dan Seno terpesona oleh keindahan Dara. Mereka berdua pun bersaing untuk pendapatkan perhatian Dara. Seno bahkan berharap bisa berubah menjadi boneka supaya bisa berkasih dengan Dara.
Dari sedikit buku fantasi yang ditulis oleh penulis Indonesia dan pernah aku baca, “Rumah Lebah” ini adalah yang terbaik. Aku yakin Dodi menulis buku ini dengan sangat sabar dan tekun. Dia menyimpan setiap kisah untuk diungkap di bagian yang tepat sehingga pembaca, sepertiku, akan terus membaca buku ini sampai habis.
Setiap karakter tokoh dalam buku ini konsisten. Aku takjub dengan Dodi yang bisa memberikan setiap detail fisik dan sifat dari segitu banyak boneka yang ada di Rumah Lebah.
Dari banyaknya karakter boneka yang ada di Rumah Lebah, aku tertarik pada Poni. Poni adalah boneka cantik yang dipajang di rak paling depan dan dibandol dengan harga mahal. Sayangnya, Poni memiliki sifat suka mengeluh dan protes. Sifat itu semakin menjadi-jadi takala Peru ada dan menjadi kesayangan Rama dan Shinta.
Peru sebenarnya suka pada Poni sayangnya, Poni sering jual mahal dan tidak mau menanggapi Peru. Walaupun sebenarnya, Poni ada rasa dengan Peru. Setelah berusaha sekian lama dan sebegitu keras tanpa hasil, akhirnya Peru memalingkan cintanya untuk Dara, yang memang lebih mempesona dibanding Poni. Poni akhirnya harus menelan kecewa melihat Peru mengejar cinta Dara.
Cerita yang nampak familiar kan ya? Hahaha
Dodi menjelaskan dengan detail setiap karakter ceritanya dan tempatnya sehingga pembaca bisa membangun imajinasinya tentang cerita ini. Beberapa hari lalu, di sebuah acara yang diselenggarakan di Perpustakaan Jakarta Timur, Dodi berbagi bahwa tentang proses kreatif “Rumah Lebah” ini. Buku ini ditulisnya dengan nyaman dan tanpa tekanan. Dia membangun semesta cerita dan setiap karakternya dengan matang.
Satu hal yang membuatku terganjal dari buku ini adalah bentuk komunikasi boneka dengan manusia. Entah di sini memang ada ‘lubang’ atau memang sengaja seperti itu untuk memberi kejutan pada pembaca.
Pada prolognya, diceritakan boneka-boneka di Rumah Lebah berpesta ketika Rama dan Shinta pergi tidur dan mengakhiri kegiatannya ketika matahari terbit dan Shinta membuka pintu tokonya, Aku kira tadinya, semesta yang dibangun penulis seperti Toy Story. Boneka berkomunikasi dengan sebangsanya dan menjadi benda mati di depan manusia.
Nyatanya, Dara dan Seno bisa berkencan dan Peru bisa curhat pada semua orang. Pada bagian ini, sebetulnya agak membingungkan juga, sih walaupun aku tetap menikmatinya.
Kisah di Rumah Lebah ini bukan cerita untuk anak-anak meskipun mengisahkan tentang boneka. Ceritanya yang rumit dan intim, serta kata-kata yang tidak sederhana membuatku ngeh kalau cerita fantasi ini sebenarnya ditujukan untuk pembaca dewasa. Seperti yang diungkapkan oleh Dodi pada pengantarnya, ini adalah kisah dewasa yang diungkapkan dengan dongeng kanak-kanak.