Ruang Tengah

Sisi Baik “Video Games”, Belajar dalam Kontrol Diri

Kemarin, aku membaca status Ridwan Kamil di FB. Ceritanya, beliau baru saja meresmikan kantor Agate, sebuah games developer di kawasan Bandung Teknopolis…

Eh, bentar deh. Itukan status Pak RK beberapa bulan lalu…

Betul. Itu adalah status FB Pak Ridwan Kamil tentang peresmian kantor Agate itu tanggal 24 April 2019. Namun aku baru baca sekarang. Gimana, donk? Lanjut saja ya, ceritanya. Tanggung. Hehehe Yang menarik dari status itu jelas komentar-komentarnya yang ‘mencemooh’ Pak Gubernur.

Aku sebenarnya sudah banyak membaca tentang polemik ini sejak Pak Presiden menyatakan dukungannya pada e-sport tahun lalu. Banyak ibu-ibu yang mencibiri presiden. Menuduh Pak Presiden macam-macam. Padahal kan ya yang namanya teknologi terus berkembang, termasuk masalah gim ini.

Beberapa orang yang masa mudanya suka bermain video games angkat suara. Mereka membuat tulisan tentang efek bermain video games dalam hidup mereka yang kemudian dibagikan di media sosial.

Beberapa tulisan itu intinya sama: orang tua mereka memperbolehkan permainan video games pada mereka namun dengan kontrol dan mereka belajar banyak dari video games tersebut. Apa yang mereka pelajari? Ada yang belajar mendesain, ada yang terinspirasi menggambar dari video games itu, bahkan ada yang pingin jadi petani karena bermain Harvest Moon.

Mengada-ada? Menurutku enggak juga.

Aku punya seorang budhe yang cukup loyal dengan anak-anaknya. Dia memfasilitasi anaknya untuk bermain gim dan mengoleksi komik. Namun di balik keloyalannya itu, budhe menyimpan harapan pada anaknya, “kalau emang Nova suka membaca komik, semoga dia bisa menghasilkan sesuatu dari situ. Dia juga bisa bikin komik atau bagaimana.”

Budhemu kan ngasih syarat dan ketentuan…

Ya emang harus begitu. Aku malah heran kalau budhe nggak ngasih syarat dan ketentuan.

Gini ya, segala hal di dunia ini tidak ada yang absolut. Absolut jelek atau absolut baik. Kita harus memahami lebih dalam ketika kita berbicara efek sesuatu. Video games misalnya.

Aku nggak memungkiri bahwa video games membuat orang menjadi malas bergerak dan membuat orang terus terduduk di depan layar. Namun harus diketahui, buku pun membuat orang malas bergerak lho. Tanyakan saja pada para pecandu novel. Mereka bisa seharian membaca buku bahkan sampai tidak mandi dan tidak tidur.

Kesimpulannya, segala hal yang berlebihan itu tidak baik.

Membaca buku kan memperkaya wawasan. Kalau video games bagaimana?

Tentu saja ada manfaatnya juga. Aku akan mencoba merangkum 2 ‘kebaikan’ video games yang aku dapat dari beberapa sumber.

Video games membuat kita berfikir

Jangan bayangkan video games jaman sekarang itu permainan sederhana untuk kita menghabiskan waktu seperti Snake di ponsel Nokia 3315. Permainan jaman sekarang sangat kompleks, menantang, dan membutuhkan kreatifitas. Makanya, beberapa video games menjual guidebook permainannya. Permainan sekarang memang dirancang dengan serius.

Sebenarnya, permainan lama seperti tetris itu juga baik lho. Permainan seperti puzzle dapat membantu orang untuk belajar dan mempertajam kreatifitas. Di San Fransisco, dilakukan sebuah penelitian terhadap sekelompok orang berusia 60 sampai 85 tahun. Mereka direkam EEG otaknya lalu disuruh bermain games 1 jam setiap hari. Di hari ke 31, otak mereka direkam lagi EEGnya. Yang menarik, terjadi perbaikan yang berarti di otak mereka. Secara kasat mata, mereka jadi mudah mengingat, dan mampu untuk fokus, dan bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu.

Anak-anak yang bermain video games memiliki perilaku yang menyenangkan

Bermain games tidak lantas membuat anak-anak menjadi egois dan tidak peduli pada sekitarnya, kok. Sebuah penelitian bahkan membuktikan bahwa anak-anak yang diperbolehkan bermain games oleh orangtuanya memiliki empati yang lebih baik dan terlihat lebih bergembira daripada yang tidak diperbolehkan bermain games. Catatan untuk poin ini adalah mereka bermain tidak lebih dari 2 jam dalam seharinya.

Kalau anak-anak bermain video games lebih dari 3 jam, mereka akan memiliki masalah penglihatan, fokus, dan tidak bahagia dengan hidupnya. Seperti tanda-tanda orang yang kecanduan. Ya, sekali lagi. Segala hal yang berlebihan itu tidak baik.

Di luar dari semua itu, peran orangtua yang paling ditantang oleh video games: akan menjadi seperti apa anak-anak yang bermain video games ini? Apakah menjadi anak yang terhipnotis oleh video games atau menjadi anak yang dapat mengontrol diri dari permainannya dan belajar banyak dari sana.


Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 14 Agustus 2019.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s