Ruang Tengah

Saran untuk Orang yang Hobi Mengulas Buku, Ulaslah Buku yang Kamu Suka

Gara-gara membaca tulisan Dini di Terminal Mojok yang berjudul “Kritik dan Komentar Itu Biasa: Pekerja Seni Kok Baper?”, aku jadi menghabiskan waktuku untuk penasaran. Dia bercerita bahwa ada ulasan buku seorang bookstagrammer yang tidak bisa diterima oleh penulisnya. Yang membuatku penasaran: siapa bookstagramer ini? Apa masalahnya? Kenapa penulisnya tidak terima? Bagaimana bentuk ulasannya? Dimana letak salahnya?

Berbekal pertanyaan-pertanyaan itu, aku lalu cari tahu ke sana dan kemari. Menelusuri Instastory orang-orang, status-status Facebook, dan kicauan-kicauan di Twitter. Aku kemudian tahu bahwa seorang penulis tidak suka dengan ulasan yang dibuat oleh seseorang tentang bukunya. Kabarnya, penulis bahkan meminta pengulas buku itu untuk menghapus blogpost yang berisi ulasan buku itu.

Mungkin, ulasan bukunya kurang memuaskan atau memberi kesan bahwa bukunya kurang direkomendasikan untuk dibaca. Tapi buku apakah itu? Siapa penulis ini? Aku harus mencari tahu lebih keras.

But anyway, terlepas dari penyelidikanku yang masih berjalan, aku setuju dengan pendapat Dini. Jadi pekerja seni kok baper. Ya maksudku, namanya menulis cerita atau artikel, dibikin buku, dan dijual ke khalayak.

Ada yang suka sama tulisannya ada yang enggak. Ada yang cinta sama karakternya ada yang males banget sama karakternya. Ada yang setuju sama pendapatnya ada yang enggak. Ya semua itu menurutku wajar.

Yang nggak wajar ya penulisnya. Gimana ceritanya penulis pingin semua orang sepemikiran sama dia? Gini ya, Kak (aku panggil kakak berhubung aku nggak tahu penulisnya ini perempuan apa laki), orang mau mengulas bukumu, itu dia udah mengeluarkan banyak energi, meluangkan banyak waktu, dan menyempatkan diri. Jadi apapun hasil ulasannya terimalah. Kalau bagus, ucapkan terima kasih. Kalau jelek, introspeksi diri aja. Jangan malah bikin ribut.

Jangankan mengulas buku. Orang mau baca bukumu aja harus pakai effort ya. Bahkan untuk sekadar minjam pun butuh usaha lho. Kita minjam buku di iPusnas, yang katanya mudah dan gratis, aja harus punya kuota. Ya minimal modal tampang melas buat minta thetering. Nggak modal hampa. Apalagi kalau yang sampai si pengulas ini beli bukumu. Ya ampun, kamu harusnya bilang makasih mau apapun hasil ulasannya. Yang pasti dia sudah memberikan sekian rupiah untuk dipindah ke rekeningmu.

Tapi dari sisi si pengulasnya ada juga sih pertanyaanku buat dia. Dia kenapa mengulas buku yang menurut dia enggak bagus, ya?

Ya, aku dalam setahun ini juga lagi rajin-rajinnya menulis ulasan buku. Tapi ya buku yang aku ulas adalah buku-buku yang aku jual dan buku-buku yang menarik untuk aku ceritakan ke orang. Kalau mengulas buku yang dijual kan jelas ya tujuannya. Tapi kalau buku yang diulas bukan barang dagangan, udah gitu nggak menarik, ya buat apa?

Aku nggak tahu sih posisi pengulas buku ini sebagai apa. Apakah dia ‘disewa’ oleh penerbit atau penulis untuk mempromosikan buku ini? Apakah dia seorang pengulas buku profesional dan independen yang memang menjadi rujukan orang-orang sebelum membeli buku? Atau orang yang hobi mengulas buku?

Kalau posisi dia adalah orang yang hobi mengulas buku, aku mau kasih saran: ulas aja buku yang memang ingin kamu ceritakan ke orang dan buku yang menurut kamu layak untuk dibaca sama orang.

Nggak perlu menghambur-hamburkan energi untuk membuat ulasan tentang sebuah buku yang buruk. Mungkin buat kamu itu adalah sebuah kritikan yang bisa membantu penulis untuk memperbaiki tulisannya. Tapi masalahnya, penulis itu berpikiran hal yang sama dengan kamu nggak?

Kita enggak bisa menganggap semua orang sepemikiran dengan kita. Sebuah kritikan, bisa saja dianggap sebuah hate speech oleh orang lain. Masalahnya bisa menjadi panjang kalau begitu.

Kalau ada buku yang enggak menarik, mendingan didiamkan saja. Nggak perlu diulas, nggak perlu diunggah fotonya di media sosial. Cukup taruh buku itu di tumpukan paling bawah dari buku-buku koleksimu. Atau, kalau boleh meminjam, ya kembalikan saja buku itu.

Percaya deh, didiamkan itu jauh lebih menyakitkan daripada dikasih ulasan buruk. Minimal kalau dikasih ulasan buruk, masih bakal ada orang yang kepo pingin baca buku itu. Tapi kalau didiamkan saja, lama-lama buku itu akan terabaikan dan menghilang sama sekali beserta dengan nama penulisnya. Percaya, deh.


Tulisan ini pertama kali dimuat di Kompasiana, 4 November 2019

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s