Ruang Tamu

Sulit Mengaku untuk Suka Membaca

Foto diambil secara diam-diam. Maaf kalo tampangnya kucel. Heheheee 😀

Satu minggu yang lalu (21 Januari 2020) saya berangkat ke Yogya berdua istri saya, Dik Mei. Dari stasiun pasar Senen kereta api Gajah Wong–yang saya tumpangi–berangkat jam 06.45. Saya duduk di kursi 4D. Sementara Dik Mei duduk di 4C. Di samping jendela. Kalau sedang naik kereta kelas ekonomi seperti ini, hal yang paling saya nanti-nanti adalah, penumpang seperti apa yang akan duduk di depan kami.

Di dalam benak saya, sering kali saya bertanya-tanya; Apakah dia seorang–orang tua–yang akan bercerita tentang anak-anaknya? Apakah dia seorang si Mbah yang baru saja bekunjung dari rumah anaknya di Jakarta? Apakah dua orang pasangan muda dengan anak balitanya yang menggemaskan? Apakah seorang yang cuek dengan penumpang lainnya? Atau apakah seorang yang menyenangkan bisa mengobrol tentang apa saja di dalam perjalanan.

Ternyata penumpang yang duduk di depan saya seorang bapak paruh baya. Kursinya di nomor 3D. Dia duduk berhadapan dengan saya. Karena banyak kursi yang kosong, si bapak itu lebih milih duduk di kursi lain. Ya, memang lebih leluasa. Saya juga jadi leluasa. Dik Mei bisa tiduran di kursi depan saya. Saya bisa selonjoran di kursi saya sendiri.

Karena perjalanan ini memakan waktu hampir 9 jam, saya nyaris bosan. Ada Dik Mei, tapi rasanya semua hal udah kami obrolin. Mulai dari ekonomi, sosialogi, literasi, hingga budaya. Mulai dari obrolan santai, perdebatan kecil yang cukup bikin gondok masing-masing, sampai bercanda sambil main tebak-tebakan yang jawabannya–sudah pasti–garing blasss.

Lalu Dik Mei mengantuk. Dia tertidur pulas di kursi nomor 3C-3D. Saya mulai bosan. Tapi ada satu hal yang belum saya lakukan hari itu. Membaca. Iya, membaca. Berat bagi saya untuk mengaku suka/gemar membaca. Saya tidak ingin mengakui itu. Buat apa saya mengaku suka membaca tapi nggak pernah paham konteks. Ada yang bilang bahwa membaca melatih pola pikir manusia. Tapi itu bukan tujuan saya untuk membaca. Saya bukan pembaca yang rakus. Tidak banyak yang saya baca.

Saya membaca hanya untuk mengisi waktu luang. Misalnya di saat perjalanan seperti ini. Bisa juga di saat sedang menunggu kreta, menunggu jemputan, menunggu teman ketika janjian, menunggu motor ketika diservis, dan menunggu-menunggu lainnya. Bagi saya cuma itu. Nggak ada yang spesial dari kesukaan saya dalam membaca.

Jujur saja, saya seorang pembaca yang buruk. Saya tidak pernah menyelesaikan sebuah buku dalam satu kali duduk. Dalam satu waktu. Meskipun buku itu cuma 90 halaman. Seperti novela Arapaima karya Ruhaeni Intan atau novela Cerita Bumi Tahun 2683 karyanya Aesna. Persoalannya baru aja dapat 8 halaman atau lebih, sudah dipastikan mata saya langsung mengantuk. Begitu juga ketika saya baca bukunya Mbak Kalis Mardiasih yang saya pegang ini. Saya cuma sanggup baca dua judul esai yang ada di dalam buku Hijrah Jangan Jauh-Jauh, Nanti Nyasar! ini. Habis itu saya ngantuk.

Pernah suatu ketika saya sedang membaca di Argo Parahyangan–dalam perjalanan menuju ke Bandung–ada seorang yang nggak saya kenal bertanya ke saya, “Mas, suka baca buku?”

Saya jawab aja, “enggak.”

“Loh?”

“Iya, isinya huruf-huruf, kata-kata yang disusun jadi kalimat.”

“Udah itu doang?”

“Kayanya, sih.”

“Ya udah tutup aja bukunya, Mas.”

“Enggak! Karena semua itu bukan berarti tanpa makan.”

Orang itu bingung, garuk-garuk kepala sambil ngasih muka dongkol gara-gara saya kepleset lidah yang seharusnya kata ‘makna’ jadi kata ‘makan’. Sementara saya lanjut baca. Tapi nggak lama sudah diserang kantuk. Lalu tertidur.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s