
Sebut saja Aku. Si Aku lahir di atas becak yang sedang dikayuh oleh bapaknya. Kemudian bapaknya meninggal. Menurut dokter, bapaknya mati karena serangan jantung saat mengayuh becak. Tapi tidak menurut si Aku. Baginya, bapak meninggal karena tersedak kemarahan dan kelelahannya sendiri. Saat bapaknya tahu bahwa dia telah lahir di atas becaknya sendiri, saat ibunya menjerit, saat bapaknya bingung, saat bapaknya marah.
Kedua kakaknya tumbuh jadi preman. Kakak pertamanya jadi preman di terminal. Kakak keduanya jadi preman di pasar. Sementara si Aku hanya seorang bocah yang berdiri di pojokan kelas, distrap karena tak hafal perkalian 8 dan 9. Seorang bocah yang diam saja ketika di-bully. Seorang bocah yang menderita di atas tertawaan teman-temannya ketika ia sedang dipermainkan. Ia tumbuh menjadi seorang yang pengecut.
Ibunya tak pernah memperhatikannya karena sudah sibuk dengan urusannya sendiri. Mulai dari mencuci pakaian, menyapu, mengepel, sampai menunggui anak tetangga. Anak orang lain ditunggui. Sementara dirinya dibiarkan tumbuh bersama kardus bekas di rumah. Tidak ada mainan. Tidak ada teman bermain. Dan sering kali tidak ada makanan.
Mungkin dengan latar kehidupan yang berantakan, saya—pembaca—berpikir bahwa ia akan tumbuh menjadi anak yang jahat. Ternyata pikiran saya itu salah. Ia tumbuh menjadi anak yang merasa masa bodoh dengan segala kehidupan. Tapi bukan berarti ia tidak punya pikiran. Ia tetap punya pikiran dan juga emosi. Tetapi ia terlalu pengecut untuk mengutarakan pikirannya dan juga melampiaskan emosinya.
Semakin ia tumbuh, di ruas jalan sepanjang 1,5 kilometer si Aku banyak bertemu orang lain dan mengenalnya. Ia mengenal Koh Yap si penjual obat cina, mengenal Mas Wirog seorang budayawan, Truwelu seorang seniman, Berko seorang penjual rokok berusia 15 tahun, Pak Sabar seorang takmir masjid, dan masih banyak lagi yang akan menjadi pelengkap jalan pikiran si Aku.
Menu Makanan yang Ekstrim
Aku adalah tokoh utama dalam novel karya terbaru dari Puthut EA yang berjudul Hidup Ini Brengsek dan Aku Dipaksa Menikmatinya. Buku ini merupakan sebuah karya yang sangat jauh berbeda dengan karya-karya Puthut EA lainnya.
Misalnya dalam kumcer Sarapan Pagi Penuh Dusta kita akan menemukan cerpen-cerpen dengan narasi yang apik dan liris. Dalam novel Seorang Laki-Laki yang Keluar Dari Rumah kita bisa membaca novel itu dari bab ganjil sampai tuntas kemudian baru bab genapnya, atau membaca sebagaimana lazimnya.
Lain lagi pada kumcer Kelakuan Orang Kaya, Puthut seolah merontokan segala unsur yang terdapat dalam cerpen. Puthut menyajikan kisah-kisah yang ringkas, sederhana, namun tetap syarat makna. Berbeda lagi dengan novel Para Bajingan yang Menyenangkan, seperti judulnya novel ini sangat menyenangkan untuk dibaca. Bisa dikatakan sebuah novel dengan kisah konyol nan lucu.
Jika pada karya-karya sebelumnya Puthut EA terkesan begitu piawai mendeskiripsikan setiap latar, adegan, dan suasana hati dengan kalimat yang serasa dilipat-lipat menjadi sebuah pesawat hingga membawa terbang pembacanya.
Maka dalam novela Hidup Ini Brengsek dan Aku Dipaksa Menikmatinya Puthut tidak melakukan hal itu. Puthut benar-benar membuka filter. Mengungkap makna pada kata dengan apa adanya. Puthut tidak lagi membuat kalimat panjang kali lebar untuk mengungkap kata kerja ng*ntot. Ng*ntot, ya, ng*ntot saja. Sebuah kata kerja yang mudah untuk ditulis.
Puthut EA juga tidak lagi menulis kata kontol menjadi lebih halus atau diganti dengan istilah lainnya. Sebab membuka filter itu menghidupkan sisi gelap, liar, brutal, dari tokoh Aku. Menggedor dan meledak dalam hati kita tanpa tedeng aling-aling. Ditambah lagi dengan ilustrasi dari Gindring Wasted, seorang street artist, dengan karakter ilustrasi seramnya ala-ala misfits yang juga terlihat brutal.
Ibarat sebuah menu makanan, kali ini Puthut benar-benar menyajikan menu makan yang ekstrim. Kalau biasanya kita makan nasi goreng, indomie, atau nasi uduk. Kini kita mau tak mau, suka tidak suka disajikan sebuah kadal panggang. Kemudian menyantap sebagaimana lazimnya makan sate kambing.
Perlu sebuah keberanian untuk melahap novela ini seperti kita meminum darah kobra yang menjijikkan. Untuk mengetahui apakah novela ini enak atau tidak, maka cobalah! Tak perlu takut. Toh hanya kata-kata. Tapi bukan berarti tanpa makna.
Aku Adalah Kita
Sepintas saya menyadari bahwa tokoh Aku dalam buku ini adalah anomali. Si Aku tidak punya rasa takut, rasa geli, dan rasa marah. Sebab kehidupan yang si Aku lalui telah mengajarkan untuk menelan rasa marahnya sendiri. Di prolog pun, telah ditulis layaknya sebuah disclaimer, “Aku menuliskan ini tidak dengan kemarahan”. Jadi, tak perlu menganggap kisah hidup yang si Aku jalani merupakan sebuah amarah. Santai saja.
Tapi siapa yang sadar bahwa Aku adalah Kita? Iya, kita! Kita para pembaca, para rakyat kecil yang hidup dalam pinggiran kota yang hanya bisa diam ketika menjadi korban. Perampasan, penggusuran, ketimpangan hidup dari segala kebijakan yang sama sekali tak bijak dari para elit.
Kita hanya bisa diam dijadikan barang dagangan ormas untuk tendesius ke satu kubu politikus. Kita terlalu pengecut untuk berada di tengah-tengah. Kita selalu diam ketika ditunggangi dan kita terpaksa untuk menikmatinya.
Bisa kita lihat banyak cendekiawan, pemuka agama, penulis, musisi, seniman, yang terperangkap dalam ruang kekuasan yang diberikan oleh penguasa secara cuma-cuma. Kehadirannya menjadi corong para penguasa untuk menyampaikan amanat-amanatnya kepada rakyat. Mereka menjilat. Terus menjilat sampai tak tahu lagi bahwa harga dirinya sudah luntur terjilat sendiri.
Idealnya para cendikiawan, pemuka agama, penulis, musisi, seniman hadir untuk menjadi corong suara rakyat yang dituangkan untuk penguasa. Bukan sebaliknya. Tapi sialnya hidup ini tidak selalu ideal. Sama dengan halnya tokoh si Aku yang dalam kehidupannya tidak ada lagi tikus takut kucing.
Sementara kita—rakyat—diminta untuk tidak resah. Padahal keresahan itu berasal dari mereka dengan segala retrorika yang memuakkan. Sering kali rasa resah seharusnya menimbulkan ketidaknyamanan. Menimbulkan api amarah. Tapi tidak untuk kita. Silakan marah asal siap kena pentung. Brengsek kan? Lagi-lagi kita terpaksa untuk menikmatinya.
Kita terlalu menikmati hidup yang berengsek ini tanpa sadar bahwa peran kita sudah diambil alih oleh penguasa. Apakah kita perlu marah? Tentu saja. Tapi kita terlalu pengecut untuk menyalakan api amarah. Kita takut dengan segala pentungan yang dimiliki oleh para elit sehingga kita tak punya kuasa atas amarah kita sendiri.
Lalu apa yang musti kita lakukan? Si Aku dalam epilog menyampaikan, bahwa kemarahan memang sepatutnya dilampiaskan dengan bunyi-bunyian, kentongan, tiang listrik. Secara realita, kita harus bersuara lewat apa saja. Tulisan, puisi, musik, teater, lukis, dan media lainnya. Kemarahan baik untuk kita. Baik juga untuk para elit dan penguasa agar ketakutan sepanjang hari. Sepanjang malam.
Kita mungkin pernah berangan-angan untuk menyantetnya. Mungkin juga pernah berangan-angan untuk membunuhnya sekalipun itu kriminal. Kita memang tidak bisa membuat penguasa dan para elit cacat secara fisik, sebab kita sudah kadung jadi pengecut. Tapi paling tidak kita bisa membuatnya merasa resah. Merasa terus diawasi sepanjang hari. Sepanjang malam.
Saya tersadar bahwa saya, kita semua, sebenarnya telah menjadi anomali ketika saya menyetempel si tokoh Aku ini adalah anomali. Ya, Aku adalah kita.
Judul Buku: Hidup Ini Brengsek dan Aku Dipaksa Menikmatinya
Penulis: Puthut EA
Ilustrator: Gindring Wasted
Penerbit: Shira Media
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, 2019
Tulisan ini pertama kali dimuat di web bacatangerang.com, 27 Feb 2020.