Saya baru aja kelar mandi. Setelah beberes diri, lanjut saya dan istri beberes rumah. Saya yang menyapu, istri yang mengepel. Saya yang jemurin pakaian, istri yang mencuci. Saya yang makan, istri yang masak. Wqwqwq. Tapi nggak lama anak tetangga—kira-kira berusia 3 tahun—main ke rumah saya.
“Ante… Ante…?” Si Alpan manggil-manggil istri saya, dengan panggilan tante. Meskipun anaknya entah di mana tapi suaranya udah sampai duluan di dalam rumah kami. Begitu si Alpan sampai depan pintu rumah saya, langsung saya sahutin, “Apa, Alpan?”.
“Om ana?”
“Lah ini, Om!”
“Tayo!” Anak itu menunjukan Tayo, sebuah karakter mobil bus dalam serial Tayo dari Korea Selatan yang kini menjadi idola anak-anak Indonesia. Dia bawa dua Tayo. Kedua tangannya menyodorkan Tayo-Tayonya. Di tangan kanan ada Tayo warna biru dan di tangan kiri Tayo warna hijau. Dari polanya itu mengisyaratkan kalau saya harus memilih salah satu dari kedua Tayo itu.
“Oke, Om ambil Tayo yang hijau.”
Si Alpan menggeleng lalu bilang, “Na na na na… (dengan bahasa yang nggak saya ngerti) …Ogi, Om….”
“????”
Saya bingung lalu istri saya dari ruangan sebelah nyahut, “Yang kamu pilih itu Rogi namanya. Kalo Tayo yang biru!”. Oh, ya saya baru tahu. Saya tertawa geli mengingat pola saya sendiri. Saya ini, udah kayak nggak pernah kecil aja. Seharusnya saya tidak boleh melakukan hal ini, yakni menganggap semua bus baik yang hijau, merah, kuning, biru, adalah Tayo.
Saya dan Alpan main mobil-mobilan. Saya coba masuk ke dunia kanak-kanaknya. Beberapa buku yang tertata rapih di rak saya keluarkan untuk membuat sebagaimana jembatan. Kotak-kotak kardus saya jajarkan di pinggiran tembok sebagai gedung-gedung dan pom bensin. Pensil warna saya keluarkan untuk membuat separator jalan raya. Sayangnya, saya tidak pernah menonton serial Tayo, sehingga ide dalam mengembangkan imajinasi kotanya si Tayo tidak bisa saya lakukan dengan baik.
Selanjutnya saya yang akan mengikuti imajinasinya Alpan. Kalau dia bilang ada lampu merah, ya Rogi yang saya pegang ini ikut berhenti di belakamg Tayo. Kalau dia bilang jemput anak sekolah. Ya si Rogi ikutan aja. Saya akan coba jadi teman yang baik baginya. Si Alpan main dengan senang. Saat sedang asyik bermain, dia bilang ke saya, “Na na na na… (Masih dengan bahasanya yang belum saya mengerti) …Dadahhh!”
Ternyata dia jalan pulang sambil melambaikan tangan. Oke, mungkin barusan yang dia ucapkan adalah sebuah kalimat pamit darinya. Tapi memang tidak terasa sih, hampir satu jam bermain. Saya kembali mebereskan semua barang-barang yang saya turunkan ke lantai. Satu per satu saya tata lagi dengan rapih. Tak sengaja sebuah pembatas buku bergambar Doraemon jatuh.
Saya melihat jam, ternyata sudah pukul 08.20. Artinya sudah 20 menit Doaremon Tayang. Tapi sayangnya lagi, saya tidak punya TV. Saya tidak punya karena tidak merasa butuh dengan acara-acara TV jaman sekarang. Masa kanak-kanak saya juga sudah selesai seiring hilangnya satu per satu anime yang tayang di TV.
Tapi dengan begitu bukan berarti rasa kanak-kanak saya hilang begitu saja. Buktinya saya masih bisa tetap berimajinasi layaknya anak kecil, lagi pula saya perlu memelihara rasa itu agar kelak ketika saya menjadi seorang bapak juga bisa sekaligus menjadi teman yang baik untuk anak saya. Baik anak itu perempuan ataupun laki-laki. Dalam kenangan kecil saya, tidak ada hal yang lebih menyenangkan lagi ketika bisa main bersama bapak yang bisa masuk ke dunia saya—imajinasi anak.
Saya jadi teringat kalau hari Minggu gini, adalah hari yang paling saya tunggu. Pasalnya tahun 90an adalah jaman TV masih menyiarkan anime-anime yang menjadi teman yang asyik di akhir pekan. Detective Conan menjadi menu utama saya. Diurutan kedua ada Digimon. Ketiga Hunter X Hunter. Keempat Lets And Go. Terakhir Inuyasha. Sebetulnya masih ada yang lainnya, misalnya GeGeGe No Kitaro.
Kalau saya pilih 5 anime terfavorit, saya kira urutan itu sudah cukup. Jujur saja, saya lagi rindu masa-masa itu. Masa di mana setiap hari Minggu bisa nongkrong di depan TV, lalu emak saya menyodorkan sepiring Indomie goreng pakai nasi sambil bilang, “Ayo nonton TV-nya, sambil makan!”.
Saya nonton TV nggak sendirian, yang bikin hal itu bertambah seru lagi, teman-teman saya yang tinggal di sekitar rumah juga ikutan nonton. Ya, semacam nobar gitu, lah. Habis nonton TV setengah hari langsung main bareng. Mulai dari main gundu sampai main Nitendo. Kenangan-kenangan saya semasa kecil terasa begitu indah, sebab yang namanya KPI masih belum lahir. Akan betapa sedihnya masa kecil saya jika seumuran sama KPI, mungkin dia akan menjadi teman yang rese banget.
Tetapi dengan ada atau tidaknya KPI, setiap anak yang tumbuh dalam generasinya masing-masing tetap memiliki kenangan indah di jamannya. Bagaimana tidak? Menjadi seorang anak kecil adalah sebuah anugerah. Hal apapun bisa menjadi mainan berdasarkan imajinasi kanak-kanak. Misalnya saat kecil saya suka dengan Conan Edogawa, saya pernah dibeliin sebuah kaca mata sama bapak. Lalu dengan memakai kaca mata itu saya berimajinasi layaknya seorang Conan. Tentu saja dengan menggunakan kaca mata yang bisa melacak orang dari jarak jauh buatan Profesor Agasa.
Rasa kanak-kanak itu masih saya pelihara dengan baik di dalam tubuh yang sudah dewasa ini. Dan untuk memeliharanya agar tetap ada saya baru saja menuntaskan 148 episode Hunter X Hunter yang endingnya tidak saya dapatkan di TV. Selanjutnya saya pingin maraton filmnya Detective Conan. Hal itu ingin saya lakukan karena beberapa bulan lalu, saya pingin banget nonton Movie Detective Conan yang ke 24: The Scarlet Bullet, yang akan rilis pada 17 April 2020.
Sayangnya tanggal rilis tersebut resmi diundur lantaran pandemi Corona bukan karena KPI. Saya yang sudah menunggu lama, harus menunggu lagi. Sebagai pelipur lara beberapa film Conan terdahulu yang saya simpan di ponsel cukup membuat rasa kesedihan ini mereda. Meskipun masih ada sedikit rasa …. Ah, memang bedebah si Corona ini.