
Mendengar kata puisi, sekilas otak saya langsung tertuju pada salah satu puisi romantis milik Sapardi Djoko Damono yang berjudul Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana. Selain itu, saya juga kembali teringat pada sosok Joko Pinorbo dengan puisinya yang jenaka namun sangat mendalam ke hati.
Nah, kali ini saya mendapati satu nama baru, yakni Beni Satryo. Pertama kali saya mendengar namanya pada tahun 2017 dalam sebuah unggahan Facebook Agus Mulyadi yang membagikan unggahan Beni Satryo—menawarkan jasa pembuatan puisi di sebuah grup Facebook. Bukan apa-apa, sebab unggahan itu terasa menarik buat saya.
Kata benda yang sekiranya remeh, yang nggak pernah kita pikir dan sangka sebelumnya, mampu disulap olehnya dibalut dengan rasa humor yang segar. Tentu saja ada pesan yang mendalam pada puisi-puisinya. Ada kisah yang tragis namun humoris, ada pesan rindu yang tentu saja lucu.
Dari setiap kata yang dirangkai oleh Beni Satryo mengajarkan kita untuk bisa menertawakan kepedihan hati. Mengingatkan kita bahwa suasana hati tidak pernah lepas dari benda-benda kecil yang ada di sekeliling. Misalnya, sebuah puisi yang berjudul Sakurata ada kata dompet, sangat terasa sekali ketika saya rindu dengan pacar, di masa-masa hubungan LDR. Begini bunyinya:
Sakurata
FYI aja, pacar saya itu dulu tinggal di Yogyakarta dan saya di Bekasi. Jadi cukup releated dengan puisi itu. Setiap hari cuma ada satu kata di otak saya saat itu: menabung. Ya, menabung buat ongkos ke Yogyakarta dengan tiket kereta yang sanggup saya tebus sebulan sekali. Ah, sialnya saya malah jadi tertawa alih-alih menangis untuk mengenang isi kantong selalu habis setelah ngapel ke Yogyakarta.
Buku Pendidikan Jasmani dan Kesunyian menyajikan 53 puisi dalam 58 halaman. Bukan puisi yang menggunakan kata-kata rumit dan mendayu-dayu, melainkan dibumbui dengan rasa yang lucu dan ide yang teramat kreatif. Loh, gimana kreatifnya nggak kebangetan, Beni Satryo malah punya ide buat nawarain jasa pembuatan puisi di grup FB: Jual Beli Barang Bekas, kok. Siapa coba yang kepikiran?
Ukuran buku ini memang nggak terlalu besar, cuma 12 x 18 cm. Jadi cukup nyaman buat dibawa ke mana-mana. Buat menemani saat perjalanan, saat menunggu teman, dan menunggu bus di Halte. Oh iya, saran saya kamu jangan terlalu terburu-buru pingin cepat selesai baca puisi-puisinya Beni.
Santai aja kek di pantai sambil makan satai. Maksud saya dinikmati gitu. Lalu menyantap kata demi kata untuk mengungkap makna atau cerita yang tersirat. Buku ini cocok buat kamu yang nggak terlalu suka puisi dan selalu berpikiran bahwa puisi itu selalu mendayu-dayu atau menye-menye.
Saya yakin, kalau kamu berpikiran kayak gitu, pasti akan terpatahkan. Ya meskipun saya nggak bisa menjamin dengan seketika kamu langsung suka sama apa yang namanya puisi. Toh balik lagi ke selera, kan?! Ada satu puisi yang saya suka banget di buku ini. Puisi yang berjudul Pendidikan Jasmani dan Kesunyian itu sendiri. Puisi yang diangkat menjadi sebuah judul buku ini.
Alasan saya suka karena puisi itu berhasil lagi mengingatkan saya yang waktu itu sedang rindu dengan pacar, kini udah sah jadi istri. Terus yang saya lakukan adalah, bukan senam, tapi mencari aktifitas lain untuk mengendurkan otot-otot rindu. Eh, sialnya bukannya sembuh malah makin menjadi-jadi. Oh iya, begini puisinya:
Pendidikan Jasmani dan Kesunyian
Aku duduk terlalu lama menantimu.
dengkulku menjadi gula batu
dalam sejuta abad cangkir-cangkir teh yang beku.
Sepasang linu beranak pinak di punggungku
menjadi semut-semut dipersendian waktu.
Ngilu.
Lalu, seorang mengajariku senam sendu.
“Gerakannya bisa mengendurkan otot-otot rindu,” ujarnya.
“Sekalian mengencangkan air matamu.”
***
Data Buku:
Judul: Pendidikan Jasmani dan Kesunyian
Penulis: Beni Satryo
Tahun Terbit: April 2016 (Cetakan ketiga 2018)
Penerbit: EA Books
Resensi buku ini pertama kali diterbitkan di www.bacatangeran.com pada 4 Juni 2020