
Aku tadi pagi dengerin Podcast The Biography of My Work yang dipandu oleh Kak Aan Mansyur. Dalam episode ini, hadir Kak Raisa Kamila, penulis buku Bagaimana Cara Mengatakan Tidak terbitan Buku Mojok. Ini catatan aku dari Podcast tersebut.
Tentang Cerita Pendek
Cerita Pendek adalah form yang paling familiar bagi Raisa. Ceritanya lebih bisa dibayangkan dan membuat Raisa related dengan pengalaman orang lain. Raisa merasa cerita pendek lebih ringkas dalam proses produksi maupun proses konsumsinya.
Tentang Kompleksitas dalam Kesederhanaan Cerita
Awal belajar menulis fiksi, Raisa tidak sadar kalau dia sedang mengerjakan tema-tema yang kompleks. Raisa hanya ingin bercerita tentang hal-hal tersebut. Misalnya dalam cerita “Orang Asing”, Raisa hanya ingin bercerita tentang anak remaja yang terasing di satu tempat. Tapi Raisa membangun ceritanya dari cerita imigran yang sering Raisa dengar. Dia tidak sadar kalau ada lapisan lain dari cerita yang dia sampaikan.
Raisa menulis dengan satu pertanyaan atau satu premis percerita. Tapi tetap menambah detail yang terkait dengan premis cerita. Misalnya dalam “Cerita Di Belakang Vihara”, Raisa ingin bercerita tentang orang Jawa yang diusir di Aceh atau tentang tekanan pada kelompok minoritas di Aceh. Lalu ingin bercerita tentang ruang publik bagi perempuan sebelum dan setelah diberlakukannya perda syariah. Raisa kemudian memilih dan mencari channel-nya.
Bagaimana bercerita tentang ruang publik sebelum dan sesudah perda syariah dengan tokoh yang beraktifitas sebagai pemain basket. Kegiatan bermain basket (dengan kostumnya yang seperti kita tahu) tidak bisa lagi dilakukan oleh anak perempuan setelah berlakunya perda syariah.
Salah satu cerita yang Aan Mansyur suka dari buku ini adalah “Cerita Dari Sebelah Masjid Raya”. Menurut Aan itu pernuh kompleksitas. Persilangan antara isu tentang agama, negara, kepentingan kekuasaan, kapitalisme, dan bagaimana perempuan diletakkan di pusat cerita.
Raisa sendiri sebetulnya kurang suka dengan “Cerita Dari Sebelah Masjid Raya” karena menurut Raisa ceritanya penuh. Raisa ingin cerita bagaimana perda syariah ini bukan hanya berdampak bagi perempuan tapi juga laki-laki. Laki-laki tidak sadar bahwa kontrol terhadap tubuh mereka dilakukan di luar isu islam. Raisa mengambil referensi dari bagaimana laki-laki dilarang berambut gondrong.
Tokoh dalam cerita itu adalah bapak-bapak yang berprofesi sebagai tukang pangkas rambut, pemain bola yang mengenakan seragam celana pendek. Raisa ingin bermain dalam isu ini tapi takut ceritanya butuh terlalu banyak penjelasan. Raisa terlalu berhati-hati dalam menggarap cerita ini. Raisa berusaha memikirkan konflik yang menarik itu seperti apa.
Nama toko Kadafi dipilih oleh Raisa karena mengikuti tren pemberian nama anak pada masanya. Ayah Kadafi yang diceritakan pergi, merepresentasikan anak-anak di Aceh yang ayahnya pergi untuk berjuang sementara ibunya yang harus membiayai hidup keluarga. Anaknya jadi luntang lantung dan hidup tanpa sosok ayah. Anak-anak ini menganggap ayahnya ini sosok yang heroik padahal yang ibunya lakukan untuk membuat anak-anak ini tetap hidup juga heroik.
Ini adalah cerita yang ingin Raisa rekam. Dia tidak punya gugatan khusus tentang hal ini. Tapi Raisa merasa periode 90-an akhir adalah periode yang rumit.
Tentang Isu Identitas
Identitas seperti gender, agama, dan etnis adalah identitas yang tidak bisa kita pilih. Beberapa orang sangat emosional saat bersinggungan dengan persoalan identitas. Orang jadi siap mati saat berhadapan dengan persoalan agama atau etnis. Dan orang lain ada yang marah ketika kita mempersoalkan identitas gender kita. Jadi, identitas ini adalah isu yang sangat dekat dengan semua orang.
Kenapa dalam buku ini, identitas hadir sebagai sesuatu yang berbahaya dan mengancam dan menjadi sumber petaka tokoh yang dibangun?
Karena menurut Raisa itulah yang terjadi ketika kita membicarakan identitas. Raisa ingin menceritakan bila kita hanya berkutat di identitas yang tunggal ya memang akan membawa kita ke persoalan.
Di banyak cerita, tokohnya bersiasat untuk lepas dari tekanan isu identitas ini. Yang paling menarik bagi Aan adalah tokoh-tokoh itu lari ke dongeng. Beberapa cerita juga sangat terasa usaha para perempuan untuk lari dari tekanan ini dengan berpindah tempat. Tapi tempat para perempuan ini pergi tidak disebutkan.
Kata Raisa, beberapa cerita ada yang nggak intensional. Tidak dimaksudkan latar cerita seperti apa atau tokohnya pergi kemana. Jadi ceritanya memang sengaja ngawang. Karena cerpen-cerpen ini dibuat pada masa awal Raisa belajar menulis sehingga belum tahu apa fungsi ruang dalam cerita.
Tentang Tokoh Anak dan Remaja
Kesengajaan Raisa memilih anak-anak dan remaja menuturkan persoalan perempuan dalam buku ini. Hanya ada satu cerita dalam sudut pandang laki-laki. Tema-tema yang berat tadi dituturkan dalam sebuah pertanyaan untuk mengatakan ketidaktahuan. Bahkan judul buku ini, alih-alih sebuah pernyataan, ini merupakan sebuah pertanyaan.
Kalau suara dalam cerita ini memang secara sadar Raisa rancang dalam cerita. Ini terkait Raisa untuk mengeksplore kegamangan perempuan. Remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke dewasa ketika dia mengenali tubuhnya. Fase remaja ini menarik untuk Raisa bertanya tentang diri sendiri dan bagaimana dirinya ada dalam masyarakat yang lebih luas.
Kalau anak-anak adalah suara yang paling murni yang terdengar di kepala waktu menulis. Dan suara anak-anak ini bisa membingkai persoalan yang rumit yang sulit dijelaskan jadi lebih jernih. Efeknya, perempuan dalam cerita ini jadi tampak lebih terbuka karena mereka bertanya. Ini menunjukkan perempuan-perempuan ini menginginkan perubahan.
Tentang Latar Tempat yang Kebanyakan di Rumah dan di Sekolah
Rumah selalu kita asosiasikan dengan tempat berlindung dan nyaman. Dalam skena sastra yang luas, perempuan itu menuliskan isu-isu domestik dan hal-hal personal. Justru itu yang ingin Raisa persoalkan. Karena rumah tidak selalu menjadi tempat yang aman dan nyaman. Isu personal bukan berarti nggak penting.
Raisa juga ingin mengganggu asumsi bahwa sekolah adalah tempat transfer nilai, tempat untuk belajar baik dan buruk. Di “Cerita di Belakang Vihara” dan “Bagaimana Cara Mengatakan Tidak”, sekolah justru adalah institusi yang melanggengkan kekerasan. Entah dari guru yang mengasihani siswi yang minoritas atau sekolah yang membiarkan pelaku pemerkosaan pergi dan malah menyalahkan orang tua.
Tentang Persoalan Tubuh
Tubuh adalah sesuatu yang dimiliki oleh semua orang, sama dengan identitas. Tapi menarik bagaimana tubuh diidentifikasikan oleh selain diri kita sendiri. Didefinisikan oleh agama, lingkungan. Dan seringkali definisi ini bentrok. Raisa merasa tubuh adalah arena pertarungan nilai agama, sosial, dan pasar. Pengalaman terkait tubuh adalah pengalaman kolektif tapi ceritanya beda-beda. Tubuh selalu bersinggungan dengan apapun. Dan persinggungan ini membawa persoalan.
Bekasi, 27 Oktober 2020
Meita
Teman-teman ada yang sudah mendengarkan podcastnya? Atau membaca buku “Bagaimana Cara Mengatakan Tidak”?
Yodah kalo belum, nih langsung aja aku kasih link-nya: