Ruang Tengah

Bergelut Dengan Dua Pilihan dalam Satu Pikiran

Beberapa bulan lalu saya mimpi bertemu dengan Mas Puthut EA. Iya, betul, sastrawan yang menyebut dirinya detektif partikelir itu. Saya suka dengan karya-karyanya. Saya juga suka dengan perangainya. Meskipun saya belum mengenalnya secara pribadi tapi—dalam mimpi itu—kami seolah sudah berkawan akrab. Kami duduk di sebuah warung kopi. Entah itu ada di mana. Setelah terbangun saya mengingat tempat itu seperti di Warung Mojok.

Malam itu Mas Puthut melontarkan sebuah pertanyaan ke saya, “Mas Allan.”

“Iya, Mas.” Sahut saya dengan penuh takjim.

“Menulis atau jualan buku? “

“Dua-duanya, Mas.”

“Oh, pilih salah satu, Mas.”

“…”

Saya akan berpikir keras sekali jika dibenturkan dua pilihan seperti itu. Jujur saja, saya bukanlah tipikal orang yang bisa fokus. Bahkan semangat saya dalam menulis cuma “hangat-hangat tahi ayam”. Saya nggak pernah bermimpi buat jadi penulis. Tapi ketika menganggur beberapa bulan lalu, saya nggak menyangka bisa menggantungkan diri pada menulis. Beberapa kali honorarium dari Mojok dan Terminal Mojok cukup buat bayar biaya rumah kontrakan—tempat tinggal saya dan istri.

Persoalannya ketika saya cuma dapet ide tapi kentang, ketika saya dapet ide tapi mentok buat nyari angel, ketika otak saya buntu buat menulis, dan naskah-naskah saya ditolak oleh Mojok juga Terminal Mojok, cuma Bukumee yang bisa saya harapkan buat menyambung hidup kami. Kedua keran pemasukan ini lah yang memberatkan saya ketika menjawab pertanyaan dari Mas Puthut EA.

Ya, itu memang mimpi. Sering kali mimpi bisa muncul berdasarkan keresahan, ketakutan, dan keinginan meskipun di dunia nyata bisa dihadapi dengan selow. Namun alam bawah sadar kita tetap bekerja dan mampu menghadirkan kembali keresahan, ketakutan, dan keinginan yang kita alami dalam mimpi. Saya nggak tahu pasti bagaimana cara kerja alam bawah sadar. Ya kayak gitulah yang saya alami.

Kini saya sedang berusaha buat menjalani agar kedua keran itu tetap terbuka. Kadang saya terfokus pada salah satu keran. Kadang enggak. Saya punya keinginan bisa hidup dari menulis sekaligus dari berjualan buku dan saya juga punya keresahan akan gagal di keduanya.

Meskipun saya berusaha semampunya untuk mendapatkan kedua hal itu, ada satu hal yang nggak sama sekali saya harapkan, yakni kepopuleran. Saya takut dengan kepopuleran karena kepopuleran akan membuat saya menjadi congkak. Seperti apa kata Joko Pinurbo: “Yang orang lain lihat adalah karya”. Saya ingin orang melihat dan bisa menikmati karya saya tanpa harus melihat diri saya. Begitu juga dengan Bukumee, biarlah orang tahu Bukumee dan bisa puas belanja di sana tanpa perlu tahu siapa di balik kemudinya.

Mengemudikan lapak buku online bukanlah perkara mudah. Saya nggak sanggup jika harus sendirian. Harus ada seorang navigator. Beruntung saya punya teman hidup yang cermat dan juga cerdas: Nyonyah. Sudah selama ini berjalan—secara perlahan—kemudi Bukumee dipegang oleh Nyonyah. Saya yang tadinya mengemudi, kini cuma menjadi navigator. Sesekali menjawab pertanyaannya Nyonya untuk memutuskan belok ke kiri, lurus, atau ke kanan saat menemukan pilihan jalan.

Saya salut banget sama Nyonyah. Semua dia garap. Mulai dari ide kreatif konten, admin medsos, mengatur keuangan, hubungan ke penerbit/distributor, pelayanan ke pembeli, packing barang, sampai antar ke ekspedisi. Sekarang porsinya sudah 95% dipegang Nyonyah. Sisanya 5% lagi saya bantu-bantu bikin desain konten, nganterin paketen ke pembeli (COD), dan terkadang jawabin DM atau chat yang masuk ke Bukumee. Semua itu saya lakukan semampunya dan sebisanya.

Terima kasih buat teman-teman yang udah suport Bukumee dengan berbelanja di Shopee. 🙂
Terima kasih juga buat teman-teman yang belanja di Tokopedia/Bukumee. 🙂

Pagi ini sambil ngopi dan ditemani oleh Nyonya saya coba scrooling lapak Bukumee di Shopee dan juga Tokopedia. Saya nggak menyangka Bukumee bisa menjadi Star Seller di Shopee dan bisa dapat dua perak di Tokopedia. Buat saya ini pencapaian yang menyenangkan karena Bukumee masih masih dipercaya orang walaupun di luar sana banyak toko buku lain yang jauh lebih besar dari Bukumee.

Tapi saya nggak boleh terlena. Saya mesti lebih produktif lagi. Bukumee mesti punya lebih banyak produk lagi. Melihat hal-hal itu di Bukumee dan mengingat pertanyaan Mas Puthut EA dalam mimpi itu, saya baru punya jawabannya sekarang: “Oke, Mas. Saya pilih menulis.”

Kemudian saya menceritakan tentang mimpi saya ini ke Nyonyah. Tanggapan Nyonyah juga cukup diplomatis. Katanya gini: “Ya kalau kamu mau nulis. Nulis lah. Fokus aja sama menulis. Bukumee biar aku yang pegang. Atau kalau lagi capek, nggak dapet ide buat nulis, dan nggak bisa handle Bukumee, kamu istirahat aja. Kita jalani aja apa adanya.”

Sekarang saya sudah tenang. Nggak resah lagi. Dengan begitu saya kepingin menulis lagi buat Mojok dan Terminal Mojok. Tapi tunggu dulu, saya mau menikmati perasaan tenang ini dan tenang adalah saat yang tepat buat memejamkan mata. Mari kita tidur.

*Auto dibanjur air pagi-pagi gini tidur. Wqwqwq.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s