Perpus

Parade Hantu Siang Bolong

Data Buku:
Parade Hantu Siang Bolong | Titah A.W | Penerbit: Warning Books | Cetakan kedua: Des 2020 | xxi + 247 Halaman

Ketika membaca halaman terakhir dari epilog yang ditulis oleh Soni Triantoro, aku mengerti mengapa beberapa teman di BBBBBookclub menceritakan buku Parade Hantu Siang Bolong karya Titah Aw dengan antusias. Aku pun suka cara beliau bercerita. Seolah-olah, aku ikut penulis mengunjungi tempat dan bertemu orang-orang yang diceritakan.

Dalam buku ini ada 16 artikel reportase jurnalistik-sastrawi (aku nggak begitu ngerti istilah ini, sih ^^’. Sepertinya artikel dalam buku ini adalah report jurnalistik yang ditulis seperti karya sastra). Beberapa artikelnya pernah aku baca di vice.com, tempat pertama kali artikel-artikel dalam buku ini dimuat, dengan judul yang berbeda (yang di vice.com judulnya clickbait, Bebs). Yang di buku ini adalah versi asli dari naskah-naskah yang tampil di vice.com itu.

Sebagai orang yang tumbuh di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, beberapa cerita terasa familiar. Misalnya tentang acara Golek Garwo, saat aku magang di salah satu fasilitas kesehatan di Bantul, seniorku sempat menawariku untuk ikut acara tersebut. Cerita tentang Kaliurang juga bukan cerita yang asing karena orangtuaku tinggal di Jalan Kaliurang. Aku dan sepupuku bahkan pernah bertekad untuk mendatangi dan memotret semua gua Jepang yang ada di Kaliurang (yang baru terwujud beberapa karena kemudian ketika lelah kami saling bertanya, kami ini ngapain sih).

Dari 16 cerita itu yang paling berkesan buatku adalah artikel tentang klitih karena mengingatkanku pada masa SMA. Murid-murid sekolah yang laki-laki, harus menggunakan jaket ketika keluar di luar sekolah untuk menutup badge sekolahnya. Ya supaya tidak diserang oleh murid sekolah lain yang sedang klitih. Jaket kemudian menjadi tren tersendiri bagi mereka. Aku dan teman sebangkuku, meskipun kami perempuan, jadi ikut-ikut mengoleksi jaket untuk digunakan saat berangkat dan pulang sekolah.

Akibat dari klitih, pada masa itu sering kali kemudian berujung dengan tawuran atau penggerudugan ke sekolah. Beberapa kali murid-murid sekolahku dipulangkan lebih awal karena ada kabar akan diserang oleh sekolah lain. Atau kami tidak diperbolehkan meninggalkan area sekolah saat jam pelajaran terakhir sudah berakhir dengan alasan yang sama dan di luar gerbang sekolah, kami melihat polisi berbaris. Atau lagi, tiba-tiba terdengar atap yang dilempari batu saat pelajaran.

Luar biasa, sih.

Buat pegiat media lokal dimana pun, aku merekomendasikan buku ini banget. Buku ini memberi teladan bagaimana isu lokal bisa digarap dengan serius dan menghasilkan cerita yang menarik. Supaya media lokal isinya bukan cerita kriminal atau korupsi pejabat saja.

Bekasi, 24 Januari 2020

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s