Seorang Recruiter saat sesi interview bertanya kepada saya, “Sebelumnya ada pengalaman jadi kurir?”
“Ada, Pak, jadi kurir toko di Mangga Dua.” Jawab saya dengan penuh percaya diri.
“Tahu area mana aja?”
“Dari Jakarta Barat, Timur, Selatan, sampai Utara udah pernah saya lewati, Pak.”
“Sistem delivery-nya gimana?”
“Customer nelpon ke toko untuk order produk. Ada minimal order biar bisa delivery. Terus sebelum berangkat tujuannya udah dijadwalin sama Leader. Yang prioritas nanti dipisahin. Terus tugas delivery dibagi dua ke teman kurir lainnya biar rutenya nggak mental-mental.”
“Rutenya pernah mental-mental?”
“Pernah, Pak. Saya pernah dari Mangga Dua ke Kelapa Gading, terus langsung ke Kuningan, lanjut lagi ke District 8 di Keboyaran Baru. Untung motor yang saya pake Supra Fit jaminan irit. Full tank bisa sampe Mekkah. Jadi saya nggak khawatir soal bensin. Yang saya khawatirin sih …”
“Oke, oke. Cukup. Tahu area Bekasi?”
“Siap. Tahu, Pak.”
“Kalau pantai Beting itu di Bekasi mana ya?”
“Muara Gembong, Pak. Bekasi Utara.”
“Oke, oke. Jam kerja di AnterAja selama 12 Jam. Kamu siap?”
“Siap, Pak.”
“Di sini saya tidak menjanjikan penempatan sesuai domisili, bagaimana?”
“Siap.”
“Di sini tanggal merah nggak libur. Hari minggu bahkan hari raya tetap masuk.”
“Siap.”
“Cuma hari kiamat doang liburnya.”
“Siap. …
… Hah, maaf, Pak, maksudnya gimana?”
Recruiter itu tertawa. Saya paham maksud dia tuh becanda biar nggak tegang-tegang amat. Tapi kok, becandanya mengerikan gitu. Pake bawa-bawa kiamat. Nggak ada lucu-lucunya sama sekali. Apalagi manis-manisnya kayak Le Mineral. Meski saya menahan dahaga tanpa Le Mineral, saya harus tetap fokus dan siaga jika ada pertanyaan selanjutnya untuk kemudian saya jawab “siap”. Siap aja dulu, kayak aparatur negara.
Setelah itu saya pulang ke rumah. Esoknya melanjutkan pekerjaan sebagai kernet mobil box. Saya nggak berharap untuk diterima. Perkara harapan, saya banyak belajar dari mantan-mantan gebetan saya dulu. Iya, mantan gebetan! Ketika habis PDKT, nembak, lalu berharap diterima, terus hasilnya malah ditolak. Kalau harapan nggak sesuai kenyataan kayak gitu yang ada malah sakiiit.
Enggak disangka-sangka email pengumuman lulus seleksi datang begitu cepat. Cuma butuh 2 hari saya langsung diterima. Gila ya bisa secepat itu rasanya tuh dag-dig-dug-derr sampe pengen meninggoooy. Oh iya jelas, Tanpa pikir panjang saya mengajukan surat pengunduran diri sebagai kernet supir mobil box.
Senang campur sedih. Senang karena dapat tempat kerja yang–semoga–lebih baik. Sedih rasanya karena harus berpisah dengan teman-teman sopir kawakan yang kalo lagi nancap gas, skill-nya ngelebihin Dominic Toretto. Saya jadi curiga di bawah jok mobil box Grand Max yang saya naiki saat bekerja, jangan-jangan tertanam mesin Dodge Charger Daytona, bersilinder V8, berkapasitas 7000 cc. Bukan mesin Grand Max.
Saya nggak boleh berlarut dalam kesedihan. Saya harus cepat move on dan harus fokus ke lembaran baru. Setelah saya membaca email yang berjudul “Offering Latter AnterAja” itu dengan seksama tanpa satu kata pun saya lewatkan, saya baru benar-benar yakin bahwa saya dinyatakan lulus seleksi sebagai karyawan AnterAja. Ya, ini bukan mimpi. Saya ditempatkan di Segarajaya dengan kode Stagging Store SGRJ0. Hah, Segarajaya? Di mana itu?
Saya coba googling-googling. Yes, ketemu! Ternyata masih di daerah kecamatan Tarumajaya, kabupaten Bekasi. Daerah yang cukup familiar bagi saya. Kalo nggak salah ingat, terakhir saya ke Tarumajaya waktu saya berusia 8 tahun. Kelas 3 SD. Ya lumayan lah… Lumayan udah lama maksudnya tuh. Wqwqwqwq~
Staging Store SGRJ0 terletak di perumahan Segara City. Dari tempat tinggal saya di Bekasi Jaya ke Segara City jaraknya 18 km. Rutenya bisa lewat Samarecon Bekasi -> Kaliabang -> Pondok ungu -> Setiamulya -> Tarumajaya. Ada satu rute lagi yang paling familiar buat saya, yakni Jl Perjuangan -> Babelan -> Kp Wates (Pertamina) -> Buni Bakti -> Tarumajaya. Jaraknya di Gmaps 22 km. Keduanya bisa ditempuh dalam waktu–kira-kira–45 menit.
Mantapsss. Joss banget nggak tuh? Joss lah, masak enggak. Hahaha~
Hari pertama kerja saya dibekali oleh istri makan siang, uang Rp50.000, dan juga doa. Dari rumah saya berangkat jam 06.30 pagi. Maklum hari pertama kerja. Saya takut ada kendala di jalan. Misalnya berupa ban bocor, titik macet yang nggak saya ketahui, dan kondisi jalan yang nggak saya ketahui. Soal lubang jalanan, itu pasti. Nggak terhitung pokoknya mah. Saya memilih rute pertama yang saya sebutkan di atas.
Selama perjalan awalnya saya biasa aja. Kecepatan 50-60 km/jam. Begitu sampai di Jl Tarumajaya, saya mulai pelan-pelan karena banyak lubang. Begitu juga genangan air. Becek campur tanah. Sebab hari itu malamnya habis diguyur hujan. Hal itu membuat kecepatan motor saya cuma menyentuh di angka 20 km/jam. Nge-gas sedikit bisa-bisa malah nyipratin pengendara lain. Bisa-bisa saya ditampol orang di jalan.
Begitu saya sampai di pertigaan pasar Tarumajaya. Saya bingung. Bukannya lihat Gmaps saya malah bertanya ke orang di pinggir jalan. Enggak apa-apa, biar cepat aja dapet jawabannya. Kalo lihat di Gmaps saya harus baca dulu petanya. Ya sama-sama GPS sih, cuma yang ini singkatan dari “Gunakan Penduduk Setempat–untuk bertanya”.
“Permisi, Pak. Mau nanya. Segara City arahnya kemana ya?”
“Belok kanan, Bang. Nanti ada di sebelah kiri. Perumahan yang ada kapal laut nya.”
“Oh iya. Terima kasih, Pak.”
Kemudian saya melanjutkan perjalanan dan sedikit kepikiran tentang kapal laut yang ada di dalam perumahan. Gila bener ni perumahan bisa bikin dermaga kayak di film-film Amerika. Kaum elit dari mana lagi ini yang bisa punya kapal laut masuk ke perumahan. Saya membayangkan jalur airnya tentu saja bisa tembus ke Marunda, terus entah lewat mana bisa ke Pantai Ancol.
Rasa penasaran saya semakin besar. Semakin semangat pula untuk bisa cepat sampai di Segara City. Semakin kencang juga saya membetot gas motor yang saya naiki. Akhirnya tiba juga di gerbang Segara City. Saya terkagum dengan ornamen-ornamen berbentuk gelombang ombak yang menghias di sepanjang pinggir jalan perumahan itu. Sungguh ikonik sekali dengan laut.
Kekaguman saya semakin menjadi-jadi ketika melihat sebuah bunderan jalan yang dihiasi oleh kapal layar/finisi terbuat dari bahan stainless. Rumput-rumput di sekitar kapal itu tumbuh dengan tatanan yang rapih. Sehingga ketika rumput itu tertiup angin, bisa menyerupai ombak air yang ada di laut. Sungguh visualilasi yang memanjakan mata.
Setelah melihat itu semua saya coba masuk semakin dalam ke perumahan Segara City. Bukannya langsung ke Stagging Store, saya lebih memilih berputar-putar sebentar di area perumahan untuk mencari kapal laut. Di Segara City terdapat 5 cluster. Namun dari satu cluster ke cluster lainnya saya nggak menemukan 1 kapal laut pun. Saya memang nggak bisa masuk ke dalam cluster, tetapi saya mulai heran, kok, jalur airnya nggak ada ya?
Ada sih kali/sungai tapi rasanya itu cuma kali kecil biasa untuk irigasi. Perahu nelayan pun nggak akan bisa lewat. Kecuali Perahu Kertasnya Kugy yang selalu bisa berlayar ketika di sekitarnya ada air untuk menuju ke Neptunus di lautan luas. Lalu saya menepi dan bertanya kepada petugas kebersihan.
“Permisi, Bu. Maaf mau tanya. Di perumahan ini katanya ada kapal laut. Mana ya, Bu? Di dalem cluster-nya ya?”
“Ya, Allah. Itu di depan, Bang.”
“Depan mana, Bu?”
“Itu di situ. Ada kapal gede banget nggak keliatan?”
“Mana, Bu?” Saya mulai garuk-garuk kepala.
Wajah si ibu mulai terlihat sebel meladeni saya dan berkata, “Itu di bunderan depan. Abangnya orang kampung mana sih, pagi-pagi nyariin kapal?”
Astaga megatrooon…
TERNYATA KAPAL LAUT YANG DIMAKSUD ITU MONUMEN KAPAL YANG MENJADI PENGHIAS BUNDERAN JALAN SEMACAM PIRAMIDA TERBALIK DI BUNDERAN SUMARECON BEKASI.
Saya langsung mengelus dada. Mengucap banyak-banyak istighfar atas kebodohan saya yang terlalu polos akibat mendengar kalimat; “Perumahan yang ada kapal lautnya”. Enggak ada yang salah dengan kalimat itu. Pokoknya, tiada yang salah, hanya aku manusia bodoh yang biarkan semua ini permainkanku berulang-ulang kali. Mencoba bertahan …
Eitts, stop. Malah jadi nyanyi.
Setelah nyanyi lagu Manusia Bodoh muter-muter nyariin kapal laut, saya langsung menuju ke SS SGRJ0. Jaraknya udah dekat. Kayanya cuma selompatan kodok. Di SS saya langsung menyapa seseorang yang sedang sibuk menyortir paket-paket. Seseorang itu sendirian. Ngga ada yg menemani.
Saya menucap salam. Disambut dengan wajah kebingungan olehnya. Saya memperkenalkan diri bahwa saya adalah karyawan baru sebagai Satria/kurir di SGRJ0. Kemudian seseorang itu menyebut namanya. Heri Septiyadi. Sosok manusia muda, energik, dan aura leadership-nya nampak sekali. Sejak itu juga saya tahu kalau dia adalah leader saya.
Enggak berapa lama seseorang datang lagi. Berbadan kecil sama kayak saya, masih mudah sama kayak saya, tapi gantengnya nggak sama kayak saya. Setelah menyambutnya dengan hangat lalu saya berjabat tangan. Di saat itu saya tahu nama dia adalah Dedi. Oh iya, saya pernah melihat sosok Dedi ini di saat interview. Ya, ya, saya paham. Saya nggak sendirian menjadi anak baru si SGRJ0.
Hari Senin tanggal 1 Februari, menjadi hari pertama saya bekerja di AnterAja. Tentu saja saya berharap akan berjalan dengan baik dan memberi kesan yang menyenangkan. Tapi harapan saya itu sirna ketika di saat briefing kerja Bang Heri bertanya, “Teman-teman yang baru di sini udah tau jam kerjanya?”
Saya menjawab, “Siap. Tau bang. 12 jam Bang. Dari jam 8 pagi sampai jam 8 malam.”
“Hemmm… Iya betul. Tapi di SGRJ0 kita kerja sampai selesainya aja. Dari mulai masuk, nyortir paket, pickup paket sampai di jadwal terakhir, terus kita outbound bareng-bareng. Mohon maaf ya, ini saya kasih paitnya aja. Kita bisa lebih dari 12 jam.”
Mendengar penjelasan singkat itu saya langsung menelan ludah. Wah, luar biasa, kerja 12 jam tapi masih bisa lebih. Saya yang tadinya serba menjawab “siap” tiba-tiba langsung jiper. Rasanya saya ingin izin sebentar buat beli pulsa, lalu kabur dari SS SGRJ0, dan nggak akan kembali lagi. Tapi itu sungguh tindakan yang bodoh dan sangat lemah sebagai laki-laki yang mempunyai tanggung jawab di rumah. Saya bisa menerima jam kerja itu. Di jaman paceklik sekarang ini, pekerjaan sebagai kurir ini patut untuk saya perjuangkan. Saya nggak jadi izin beli pulsa.

Hari pertama saya nggak dilepas untuk ngirim paket sendiri. Saya dipandu dan diajarkan oleh senior yang bernama Dwi. Eitts, jangan salah sangka. Dwi ini laki-laki. Bukan perempuan. Tapi nggak tahu deh kalau malam tiba. Lagi-lagi saya banyak belajar soal perkuriran. Kerja sebagai kurir kali ini berbeda dengan kurir toko. Dari Mas Dwi saya belajar menggunakan aplikasi kurir AnterAja, saya belajar mengenal area, belajar mapping, belajar menyusun paket-paket ke dalam karung.
Paket dengan tujuan pertama adalah paket yang berada di paling atas. Sementara paket yang terakhir dikirim letaknya yang paling bawah. Dalam menyusun paket ini mengenal area dan maping adalah kuncinya. Butuh proses berhari-hari untuk mengenal area sendiri. Di hari pertama kerja, saya tandeman dengan Dwi dengan cara beriringan. Mas Dwi membawa 75% paket dan saya membawa 25% paket.
Waktu itu di SS SGRJ0 punya 2 wave atau rit kedatangan paket. Di wave pertama saya mencoba fokus untuk menghapal rute. Menhapal nama perumahan demi perumahan serta bloknya, menghapal nama kampung, menghapal nama gang, dan kalau bisa menghapal nama buyer. Memang nggak mungkin bisa dilakukan dalam sekali waktu. Tapi paling nggak saya dapat ancer-ancernya. Di jam 14.00 paket wave 2 datang.
Di wave 2 inilah saya benar-benar dilepas tapi tetap nggak bawa banyak paket. Saya dikasih 20 paket dengan tingkat–menemukan alamatnya–yang mudah. Bahkan banyak yg di pinggir jalan dan perumahan. Kalaupun ada paket yang di area kampung, itupun ancer-ancernya sudah dijelaskan sama Mas Dwi sebelum saya berangkat.
Paket-paket yang saya bawa itu mungkin hanya sekadar latihan aja supaya hari esok saya sudah siap untuk benar-benar ngurir sepenuhnya. Di hari pertama ini saya mendapat banyak modal untuk menghadapi kenyataan hari esok yang lebih berat yang lebih baik. Mari siapkan mental lebih kuat lagi. 🙂