Diary Abang Paket

Pekerjaan Kurir Itu “My Paket My Adventure”, Nggak Bisa “Sat-Set, Beres”

Saya pernah mendengar baik secara langsung dan nggak langsung bahwa pekerjaan sebagai kurir itu enak. Kerjanya tinggal jalan bawa paket, nganterin dari satu rumah ke rumah lain. Kalau nggak ada orangnya ya tinggal lempar aja. Sat-set, sat-set, beres. Enak. Matamu…

…melemahkanku. Saat pertama kali ku lihatmu dan jujur, ku tak pernah merasa, Ku tak pernah merasa begini.

Padahal profesi kurir adalah pekerjaan paling rentan dalam banyak hal. Mulai dari pencurian, kejahatan, komplain secara langsung, dan hal yang setiap detik mengincar adalah kecelakaan. Ada lagi nih, ditambah load paket yang gila-gilaan saat promo tanggal kembarnya si Oren membuat stamina para kurir mesti lebih terjaga agar nggak rentan sakit. 

Kok, ya, bisa-bisanya pekerjaan para kurir itu dibilang “sat-set, sat-set, beres”. Yang saya alami saat mengirim paket di perkotaan load-nya malah gila-gilaan. Di perkampungan pelosok sekalipun, kalau paketnya sedikit tapi daya jelajah si kurir bisa makin gila lagi. Kamu nggak tahu kan medan berat kurir yang harus keliling kampung? 

Izinkan saya untuk menceritakan betapa berat dan lelahnya menjadi kurir di perkampungan. Mari~

Awal Februari 2021, saya nggak pernah menyangka akan dapat tempat kerja di daerah kabupaten Bekasi. Daerah yang jaraknya nyaris 20 KM dari rumah saya, kota Bekasi. Awalnya saya berekspektasi akan mendapat tempat di dekat rumah, lantaran informasi dari kurir yang mem-pickup buku-buku dagangan toko online–yang dikelola oleh istri–saya, penempatannya akan sesuai dengan domisili.

Kendati demikian saya nggak patah semangat ketika saya tahu bahwa leader saya pun berdomisili di kota Bekasi. Ternyata nggak saya doang yang ditempatkan di kabupaten. Adalah Bang Eri, dia leader saya di cabang Segarajaya. Saat hari pertama saya masuk, Bang Eri memberi pahitnya kerja di Segara. Terutama perihal area. 

Area pengantarannya lebih banyak perkampungan. Ada, sih, area perumahannya tapi, ya, bisa dihitung jari. Jarak pengantaran yang jauh adalah sebuah keniscayaan. Kampung Sungai Niri yang tempo hari saya ceritakan, nggak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan perumahan Flamboyan Buni Bakti, Kampung Tambun Tiga Bagian, Sembilangan, Muara Sepak, Kampung Pondok Dua, Kampung Tanjung Air, dan Kampung Hutan Gedong.

(((Kampung Hutan Gedong)))

Uh, mendengar namanya aja, saya udah merinding. Ada satu area lagi dengan level senior, level yang setingkat dengan Raja Piccolo, yakni daerah Muara Gembong. Iya, kamu benar! Daerah yang pernah dikunjungi oleh Bp Jokowi itu, atau daerah yang lebih dikenal dengan Jembatan Jokowi/Muara Gembong, juga masuk ke area pengiriman cabang Segara.

Semua itu adalah pil pahit yang cepat atau lambat pasti akan saya telan. Tidak boleh tidak. Bang Eri pernah bercerita, jauh sebelum saya masuk menjadi kurir di sana, pernah ada anak baru yang mendengar nama-nama daerah itu semua, wajahnya terlihat pucat dan berkeringat. Setelah briefing, anak baru itu meminta izin untuk beli pulsa.

Tentu saja Bang Eri mengizinkannya tanpa banyak ba-bi-bu. Kemudian sampai detik ini, sampai saat saya menulis ini, anak baru itu nggak pernah kembali lagi. Entahlah, mungkin beli pulsanya di Madinah.

Setelah satu bulan bekerja, akhirnya saya merasakan petualangan–untuk tidak menyebutnya kenestapaan–yang dimulai ketika saya mengantar paket ke perumahan Flamboyan di Desa Buni Bakti, Kec. Babelan. Jaraknya 5,5 KM dari kantor/tempat kerja saya. Begitu saya masuk ke jalan utama perumahan itu, motor Honda Vario yang saya gunakan nih, kalau bisa ngomong, dia akan protes; “Plisss, Lan. Plisss… Jangan masuk!”.

Motor saya dengan muatan paket di tas kronjo kanan-kiri harus menerabas jalan yang bergelombang dan berlumpur kayak adonan kue dodol betawi. Jalan semakin licin lagi ketika motor menginjak bebatuan dengan susunan yang nggak beraturan.

Saya yakin Mitsubishi Xpander Rally AP4-nya Rifat Sungkar akan mikir berkali-kali untuk melahap track itu. Saya jadi membayangkan, oh, begini kali, yak, rasanya kalau naik kuda rodeo. Pinggang berasa mau lepas.

Selanjutnya saya menuju Pondok Soga, Desa Pantai Hurip, Kec. Babelan. Jaraknya 13 KM dari perumahan Flamboyan. Kalau kondisi jalan, sih, biasa aja. Sudah rapi. Ada sih beberapa titik jalan rusak. Tapi itu nggak berarti sama sekali sebab saya baru saja melewati tes mental sekaligus tes fisik kendaraan di sana. Cumaaa, jaraknya itu loh, 13 KM, Bang!

Titik terjauh paket yang saya kirim berikutnya adalah Kp Hutan Gedong …jreng, jreng, jreng… jarak tempuh bertambah lagi 4,5 KM dari Pondok Soga. Sebetulnya saya tinggal nerusin aja jalan ini. Saat pertama kali ke Kp Hutan Gedong, saya dipandu oleh Mbah Google. Lagi dan lagi saya harus berhadapan dengan jalan yang belum beraspal dan bebatuan sepanjang 1 KM.

Sepanjang jalan itu nggak ada rumah warga sama sekali dan yang ada cuma rerumputan ilalang menjulang tinggi. Saya coba memperhatikan lampu-lampu jalan yang terpasang dengan jumlah yang minim. Saya nggak tahu lagi bagaimana kondisinya kalau malam tiba. Pastinya horror~

Perjalanan yang panjang itu sangat berefek pada fisik saya. Seringkali Saya merasa lelah bukan main, kemudian saya suka duduk atau rehat sejenak untuk meluruskan pinggang di sebuah balai bambu. Saat saya sedang istirahat, si penerima paket bertanya kepada saya, “Emangnya, Abang tadi kemari lewat mana?”

“Lewat jalan itu, Mpok, yang rusak itu.”

“Astagfirullah, Bang. Lewat jalanan aspal yang depan rumah saya ini loh. Ikutin jalan aja. Nanti lewatin Kp Tanjung Aer, Pondok Soga, terus sampe Muara Bakti jalanan ini udah rapi.”

“Hah, serius?”

“Iye, serius. Abang salah jalan tuh.”

Arrrghhh…

Mendengar arahan itu saya jadi kesal bukan main dengan Mbah Google, juga diri saya. Memang sih rutenya memotong jalan, tapi kalau rusaknya sejauh 1 KM. Sama aja bodong! Waktu, tenaga, dan keringat akan lebih banyak keluar. Ditambah lagi resiko terpeleset, di tengah-tengah rumput ilalang begitu siapa yang mau nolongin?!

Saya nggak mau buang waktu lagi. Langsung aja tancap gas. Kini tujuan berikutnya sekaligus menjadi tujuan terakhir adalah Kp Pondok Dua. Benar apa adanya, jalan sudah terbangun rapi. Kondisi jalan yang berkelok-kelok seperti ular membuat adrenalin saya terpacu untuk melakukan cornering.

Namun aksi bodoh itu nggak mungkin saya lakukan. Saya sadar jalan yang sepi, mulus, dan berkelok adalah jalan berbahaya. Saya nggak tahu ada benda apa setelah blind spot belokan tajam ini. Pokoknya, saya nggak mau tewas dengan konyol.

Ketika saya sampai di sebuah pertigaan Kp Pondok Soga, dari sini saya masih harus berjalan sejauh 6 KM. Lagi-lagi jarak tempuh saya bertambah. Kondisi jalan yang sudah beraspal nggak memberi kendala yang berarti. Saya berhenti sejenak, di gapura Kp Pondok Dua. Saya terkejut melihat jalanan yang tergenang air. Saat itu air memang sedang naik tapi nggak melumpuhkan aktivitas warga.

Rumah-rumah warga dibangun seperti rumah panggung. Kekaguman saya semakin menjadi-jadi ketika saya melihat beberapa rumah warga yang garasinya diisi oleh perahu. Ya, kamu nggak salah baca. Perahu! Kalau di kota garasi isinya mobil atau motor, di sini perahu. Wah, prestige sekali~

Ini foto sewaktu saya mengantar paket ke Sembilangan 😀

Yang kamu sedang baca ini bukanlah sebuah kisah perjalanan wisata “My Trip My Adventure” yang ada haha-hihi-nya. Ini adalah kisah perjalanan seorang kurir yang mencoba mematahkan stigma “sat-set, sat-set, beres”. Hal ini perlu kamu ketahui, agar bisa lebih bersabar saat status paketmu “sudah dibawa kurir” tapi nggak nyampe-nyampe.

Barangkali, kurir yang membawa paketmu sedang lelah dan sedang makan siang. Makan gado-gado yang dibungkus pake plastik kiloan, terus makannya sambil mengendarai motor. Untung aja, saya nggak pernah tidur sambil mengendarai motor. Sungguh, secapek-capeknya kerja, saya nggak akan senekat itu. 

Saya sudah menempuh kenestapaan petualangan ini selama 6 jam. Saya tiba di tempat kerja jam 14.50 WIB. Teman-teman kurir lainnya malah sedang routing untuk trip selanjutnya. Mereka terpana dengan kepulangan saya. Saya melihat raut wajah mereka begitu gembira, seolah-olah sedang menyambut seseorang yang baru saja pulang dari tambak dan membawa oleh-oleh sekarung ikan segar.

Padahal saya pulang dengan wajah yang porak poranda. Celana dan sepatu saya penuh dengan lumpur kayak petani habis nandur. Di titik ini ingin sekali saya teriak; “My Paket, My Adventure”. Tapi, bodo amat lah, saya mau rehat dulu.

Tiba-tiba Bang Eri bertanya kepada saya, “Gimana, Lan, Hutan Gedong dan Pondok Dua?”

“Saya ijin beli pulsa dulu ya, Bang.”

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s