Perpus

Ulasan Buku: Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta

Saat aku membaca kisah dalam buku Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta yang paling menarik buatku adalah karakter Pak Walikota. Aku pernah ketemu sama bos yang suka ngatur dan merasa paling benar padahal di mata kita dia itu nggak tahu apa-apa dan membuat kita selalu bilang: Ni orang apaan sih? 

Kayak gitu kesanku pada Pak Walikota ketika tokoh ini muncul pada bab 2.

Pak Walikota yang dijuluki Siput Lendir–karena dia selalu berkeringat–oleh masyarakat, menuduh orang suku Shuar, membunuh seorang bule. Tanpa bukti yang nyata. Padahal, orang Suku Shuar ini menemukan Si Orang Bule sudah tewas di hulu dan membawanya ke kota. 

Ketika Pak Tua dan Dokter Gigi yang kebetulan ada di sana berusaha mengungkapkan bukti-bukti bahwa Si Orang Bule mati dibunuh oleh seekor macan kumbang, Pak Walikota membantah tanpa argumen yang jelas dan berkeras menahan orang Shuar. Pak Tua yang gregetan sampai berkata: “Berpikirlah sejenak, Yang Mulia. Apa Anda tidak belajar apa-apa selama bertahun-tahun di sini?”.

Kemudian saat mereka mau pergi memburu macan kumbang, seseorang bertanya kepada Pak Walikota, “Apa rencana Anda?”. Kemudian dijawab olehnya, “Kita lihat nanti.”

Membacanya saja, aku sudah merasa putus asa, sih, kalau menghadapi orang yang bebal kayak gitu secara langsung.

Pak Walikota ini tipe pemimpin yang berkuasa. Dia yang merasa dipermalukan oleh Pak Tua dan Dokter Gigi, menghajar mereka berdua dan orang-orang dengan pajak-pajaknya atas nama negara (lalu aku curiga apapun yang dipungutnya dari penduduk sebagian tidak diberikan pada negara tapi masuk ke kantong pribadinya).

Parahnya, ketika Pak Tua mengusir Pak Walikota dan tamu-tamu Amerikanya dari rumah Pak Tua, Pak Walikota mengatakan bahwa Pak Tua lah yang harus pergi karena tanah tempat rumah Pak Tua berdiri adalah tanah negara. Dan negara adalah Pak Walikota.

Aku tiba-tiba jadi teringat berita tentang anggota DPRD DKI Jakarta yang menerobos kawasan ganjil-genap beberapa waktu lalu. Saat dicegat oleh petugas, anggota DPRD DKI Jakarta ini malah berkata, “Saya yang bikin aturannya” dan berujung dengan mendapat cibiran dari para netizen.

Aku juga jadi teringat guru SD adikku. Bertahun-tahun yang lalu, saat adikku yang sekarang sudah kuliah masih duduk di bangku sekolah dasar, aku mengambil raportnya karena orang tuaku harus bekerja. Saat itu, ada orangtua yang protes karena anak tetangganya yang bersekolah di tempat lain sudah belajar tentang Amerika dan Eropa sedangkan mereka belum.

Guru adikku itu menjawab, “Ya bagaimana mau belajar tentang Amerika, anak-anak ini saja diminta nunjukin jalan dari sekolah ke kantor kecamatan, malah bingung”.

Secara nggak sadar, mungkin aku adalah Pak Walikota itu sendiri. Orang yang mengaku terpelajar tapi tidak mau belajar. Pak Walikota bisa menceritakan tentang Venesia tapi tidak mengenal daerah yang dipimpinnya. Mengetahui apa yang terjadi di tempat yang jauh, tapi tidak berusaha mengenali apa yang ada di sekitarnya. 

Akhir kata, aku merasa perlu berterima kasih kepada penerbit Marjin Kiri yang sudah membawa kisah keren ini ke Indonesia.

Data Buku
Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta
Penulis: Luis Sepulveda
Penerjemah: Ronny Agustinus
Penerbit: Marjin Kiri
Jumlah halaman: x + 133 hlm
Dimensi: 12 x 19 cm
ISBN: 978-979-1260-8
Edisi kedua, Agustus 2017

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s