Bulan April ini adalah bulan yang paling berat untuk saya lalui. Faktor utamanya adalah pekerjaan. Awal Ramadan ini marketplace digadang-gadang akan ada segudang promo Ramadhan. Benar saja, begitu masuk hari kedua Ramadhan load paket di staging tempat saya bekerja sudah mulai melimpah.
Saya masih optimis untuk bisa mengantar semua paket-paket jatah area saya. Sebab saya sudah terbiasa membawa 100 paket delivery dalam sehari bahkan lebih. Tetapi sikap optimis itu berubah menjadi pesimis saat hujan datang di sore hari. Sementara paket yang harus saya kirim masih belum juga tandas.
Dalam kondisi normal, di staging tempat saya bekerja selalu kedatangan 4 wave/rit paket. Tapi dalam event promo marketplace seperti Ramadan ini, akan bertambah lagi menjadi 5 wave. Yang jadi persoalan, wave kelima itu selalu datang jam 18.00 bahkan di atas jam itu. Sementara di jam-jam segitu, saya dan teman-teman ada yang masih delivery sekaligus pickup. Belum lagi ditambah hujan turun. Wah, kusuuut~
Bayangkan! Sore hari, hujan deras, sisa paket di wave 4 masih ada, tugas pickup belum selesai, masih ditambah paket-paket lainnya di wave 5?! Kalau dipikirin, mah, ya, pusing. Tapi di saat kondisi kayak gini ada satu kalimat candaan yang sering kami ucap; “Paket, mah, jangan dipikirin. Tapi dikirim.” Artinya sebanyak apapun pekerjaan itu, sebaiknya fokus aja; delivery. Pickup sambil lewat. Jangan memikirkan tugas lain yang belum ada di tangan kita.
Kalau boleh memilih, panas terik atau hujan? Saya akan lebih memilih panas terik. Karena saat cuaca panas terik, sebanyak-banyaknya load paket yang saya bawa akan tetap berjalan lancar. Lain halnya saat hujan, secara teknis hujan membuat saya dan teman-teman kurir lainnya terkendala dalam beroperasional.
Banyak hal yang harus diperhatikan. Mulai dari intensitas hujannya, memperhitungkan waktu berapa lama kita akan menyelesaikan tugas, sampai mempersiapkan peralatan lain–jas hujan, plastik sampah untuk melapisi karung, plastik kecil untuk Hp–agar delivery tetap berjalan.

Dengan jumlah wave dan load paket yang bertambah otomatis saya harus bekerja lebih keras dari biasanya. Sering kali saya selalu menancap gas lebih kencang dari pagi sampai sore. Sebisa mungkin paket di wave satu, dua, dan tiga udah beres sebelum wave empat datang di sekitar jam 14.00 – 15.00.
Setelah beres delivery itu semua, saya lanjut menyelesaikan tugas pickup yang menumpuk dari jadwal pickup di jam 10.00 sampai jadwal jam 14.00. Akibatnya saya seringkali mengorbankan waktu istirahat yang seharusnya saya dapatkan di sekitar jam 13.00 sampai wave 4 datang.
Saya mengalami kelelahan yang berlebih. Bekerja 12 jam di perusahaan ini memang sudah menjadi kesepakatan saya saat proses interview. Masuk jam 6.00, kemudian jam 20.00 baru bisa absen pulang setelah tugas pickup di jadwal terakhir close. Saya nggak masalah dengan jam kerja ini, sebab saya masih butuh uang dan inilah harus saya jalani.
Teman-teman saya di luar circle pekerjaan menganggap saya gila, workaholic, romusha, dan sebangsanya. Tapi mereka nggak tahu ada banyak celah waktu yang bisa saya manfaatkan untuk beristirahat saat kondisi paket sedang sedikit. Gaji tetap full dan masih dapet insentif. Maka dari itu, saat event Ramadhan sale seperti kemarin, saya harus bangun dari istirahat dan bekerja lebih keras.
Mungkin ya, saya membayangkan kayak lagi belajar di sekolah aja. Waktu jam belajar saya bisa nyantai sambil menyimak apa yang diajar oleh guru, tapi saat ujian nasional tiba, ya, waktunya saya belajar lebih keras dari jam belajar biasanya.
Intinya saya nggak mengalami setiap hari bekerja selama 12 jam atau lebih. Mungkin kalau dikalkulasi–saat kondisi paket normal–saya bekerja sekitar 8 jam. Masih normal. Teman-teman yang rumahnya dekat dengan staging, kalau habis delivery banyak yang lebih memilih pulang untuk istirahat di rumah. Kemudian mereka akan datang lagi ketika wave paket berikutnya datang.
Perihal kelelahan berlebih yang didapat dari hari kemarin dan masih belum hilang di hari berikutnya menuntut saya untuk cakap dalam mengatur waktu. Sialnya saya nggak pernah berhasil. Sesampai di rumah sekitar jam 21.00, bukannya langsung tidur, saya malah melakukan hal lain. Saya butuh aktifitas di rumah yang bisa sejenak melepas lelah.
Setelah rampung makan, menunaikan ibadah, dan mandi, kerap kali saya mengobrol dengan istri. Setelah itu saya main game yang terinstal di ponsel saya. Kedua kegiatan itu cukup mengendorkan syaraf otak saya yang sedang tegang. Setelah relaks saya baru bisa tertidur.
Kalau tertidur dalam keadaan otak yang nggak relaks, seringkali saya mimpinya itu masih delivery paket. Sungguh itu sangat melelahkan. Masak, di saat mimpi aja yang seharusnya membuat tidur saya nyaman, saya masih harus teriak, “Paket…”.
Saya dan teman-teman sering juga datang telat. Hal yang pertama saya lakukan ketika sampai di staging adalah absen dengan menggunakan aplikasi yang dibuat oleh perusahaan. Sebuah aplikasi absensi yang berbasis GPS dan harus selfie. Pada saat selfie, saya melihat wajah saya yang tak lagi segar. Porak poranda. Padahal itu masih pagi tapi lelah yang saya alami dari hari kemarinnya masih belum hilang.
Dalam kondisi yang kusut ini, beberapa teman yang telat hadir dari jadwal yang sudah ditentukan, membuat saya bekerja lebih ekstra ketika masuk shift jam 6 pagi. Dapat shift pagi nggak sekonyong-konyong datang hadir terus lanjut bawa paket buat dikirim. Sortir dulu, dong! Menyortir juga bukan buat diri sendiri. Tapi buat teman satu unit zone.
Hal itu bukan karena faktor M alias malas. Tetapi karena kelelahan dan sudah terlalu padat banget. Buat melangkahkan kaki di dalam staging saja susah karena tumpukan paket-paket yang overload. Saya maklum ketika performa kedisiplinan teman-teman mulai menurun. Saya pun mengalami hal yang sama.
Di minggu-minggu terakhir saat THR sudah turun dan gaji pun sudah cair. Beban pekerjaan yang seharusnya sudah ringan malah bertambah. Sebabnya ada 3 orang teman se-team yang resign. Pengunduran diri itu dilancarkan secara mendadak dan kompak. Efeknya, teman yang masih bekerja jadi harus mem-backup area yang mereka tinggalkan.
Entahlah apa yang membuat mereka resign, saya nggak tahu dan nggak mau tahu. Yang harus saya lakukan cuma fokus ke pekerjaan. Ada satu meme yang bisa menggambarkan keadaan ini: Ada dua orang. Seorang yang sedang tenggelam, satu tangannya ke atas permukaan air untuk minta pertolongan, tapi malah dikasih tos oleh seseorang lagi yang berada di daratan sambil berkata, “Yo, pasti bisa, yo…”
Di minggu-minggu terakhir ini, saya beruntung mendapatkan jadwal masuk jam 9.00 siang. Tapi bukan berarti saya datang telat. Saya malah datang 30 menit lebih awal. Jam 08.30. Saya mengatakan beruntung karena saya nggak perlu menyortir paket-paket lagi selayaknya masuk jam 6.00 pagi.
Tapi sebab ada yang resign, tandeman saya yang malah terkena efek domino. Yang semestinya dia masuk jam 6.00 pagi, berdua untuk menyortir paket-paket per area. Hal itu jadi ia kerjakan sendiri. Menyortir paket-paket sendirian itu cukup menguras tenaga. Saya pernah berada di posisi ini juga. Sendirian. Pusing sudah pasti tapi mesti dijalani. Kalau enggak, kita bisa benar-benar tenggelam dan mati.
Saya rasa keteguhan hati dalam menjalani pekerjaan saat dilanda banjir paket adalah kunci. Beban bertambah, mental pun harus bertambah kuat. Management nggak akan diam diri membiarkan kita tenggelam untuk mati. Sebagai bukti, bala bantuan berdatangan. Mulai dari perbantuan kurir dari staging lain sampai hadirnya pekerja daily worker. Butuh proses dan kesabaran ekstra sampai banjir paket benar-benar surut.
Pada akhirnya paket surut juga tepat di tanggal 1 Mei. Meskipun ada beberapa case pending delivery yang masih menghantui, saya anggap ini sudah cukup. Lupakan sejenak paket-paket dengan alamat tidak jelas cum nomor tidak bisa dihubungi. Waktunya saya liburan. Mudah-mudahan 2 hari libur di tanggal 2 dan 3 Mei cukup untuk mengembalikan wajah saya yang segar disertai semangatnya. Ya, semoga aja. Mari liburan. Mari beristirahat.
