Komik “Pupus Putus Sekolah! Anak Berharga” karya Kurnia Harta Winata bercerita tentang seorang anak bernama Pupus yang merasa kesal karena persoalan di dalam sekolah yang dia alami. Tapi Pupus adalah anak yang baik dan punya semangat belajar. Pupus tinggal bersama nenek. Dalam kesehariannya Pupus membantu nenek di warung. Sebab itu juga Pupus pintar berhitung dan mendapat nilai matematika 100.
Cerita perkenalan tokoh Pupus berjalan dengan tempo yang cepat, pembaca langsung dihadapi persoalan utama Pupus yakni meninggalnya nenek. Praktis, cerita saat nenek Pupus meninggal mampu membuat rasa irisan bawang ke mata saya. Sampai di sini, secara harfiah Pupus putus sekolah.

Setelah itu nggak ada yang merawat Pupus, untuk sementara Pupus tinggal bersama Pak Lik-nya. Ya, namanya juga sementara, saat ini tinggal sama Pak Lik, bulan depan sama Bu Dhe, besoknya nggak tahu lagi. Perkara rencana akan berpindah-pindah antar kota antar provinsi, Pupus sudah putus harapan untuk sekolah.
Akhirnya Pupus bertemu dengan seorang kakek bernama Profesor Suryo di sebuah kampus saat Pupus sedang menyapu–membantu pekerjaan Pak Liknya. Profesor menawarkan kesepakatan kepada Pupus. Pupus bisa tinggal di rumah Profesor untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Sebagai gantinya Profesor membantu Pupus belajar.
Tokoh Profesor Suryo dalam komik “Pupus Putus Sekolah!” menawarkan model pendidikan lama yakni cantrik yang berarti berguru pada orang yang berilmu. Konsepnya adalah: Gurunya siapa saja, karena semua orang adalah guru. Sekolah di mana saja, karena semua tempat adalah sekolah. Kamu bebas belajar yang kamu suka, kapan saja, dan di mana saja. Sekolahmu tak berdinding dan tak berpagar, karena batasnya alam raya.
Yap! Selaras banget dengan kutipan dari Ki Hadjar Dewantara yang sering kita temukan di media sosial saat hari pendidikan tiba; “Setiap orang menjadi guru. Setiap rumah menjadi sekolah.” Ki Hadjar Dewantara dengan Perguruan Taman Siswa menggunakan kata “taman” untuk menggambarkan proses penyelenggaraan pendidikan. Taman berarti tempat bermain atau belajar, dan “siswa” adalah murid.
Taman sebagaimana fungsinya bisa menghadirkan tempat yang menyenangkan, menggembirakan, dan setiap orang akan senang hati kembali lagi ke taman. Dengan demikian sudah selayaknya sekolah menjadi tempat praktik yang menyenangkan bagi siswa yang berada di dalamnya. Bukan sebaliknya.
Pupus nggak suka berangkat sekolah karena merasa dipermalukan oleh guru dan teman-temannya di kelas ketika dia salah menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru. Cerita ini sangat related. Hal ini pasti pernah dialami semua orang. Saya pun demikian.
Persoalan Pupus bisa selesai ketika Bu Guru berkunjung ke rumah Pupus dan dengan sadar meminta maaf. Bahkan meminta maaf untuk kedua kalinya kepada Pupus di depan kelas. Di hadapan teman-teman Pupus. Kita semua tentu bisa mengira-ngira apa yang akan terjadi jika Bu Gurunya Pupus merasa benar dengan sikapnya dan enggan meminta maaf?
Dalam buku “Sekolah Biasa Saja” yang ditulis oleh Toto Rahardjo, terbitan Insist Press tahun 2019, menjelaskan tentang empat karakter sekolah alternatif yang membedakan dengan sekolah pada umumnya.

Pertama, filosofi yang mendasari praktik pada pedagogisnya.
Sekolah alternatif menjalankan proses pendidikan dengan sudut pandang yang lebih humanis. Sekolah alternatif bukan sekadar proses menyiapkan peserta didik untuk memasuki dunia kerja agar memperoleh pekerjaan yang bergelimang uang.
Suatu hari, saat Pupus berada di warung Mak Luwe sedang makan siang, dia bertemu dengan seorang pemuda berpakaian rapi dan wangi. Pemuda itu bernasihat kepada Pupus: “Wiih, belajar sama Profesor. Belajar yang giat, ya. Biar kamu bisa seperti aku. Kerja di bank, gajinya gede, tiap hari rapi dan wangi.”
Mendengar hal itu Pupus enggan belajar giat lagi karena dia nggak mau hal itu terjadi. Saat Profesor balik bertanya, “Lalu kamu ingin jadi apa?”. Pupus terdiam. Meskipun Pupus berpikir sedalam-dalamnya dan merenung, tapi masih belum mendapatkan jawaban. Dulu, tujuan Pupus belajar agar bisa lolos dari satu ulangan ke ulangan lainnya. Dari satu ujian ke ujian lainnya. Sekarang, ketika sudah mendapatkan kemerdekaan dalam belajar, Pupus malah nggak tahu mau jadi apa kelak.
Kemudian Profesor memberi pencerahan bahwa “Manusia akan tumbuh ke arah yang ia inginkan”. Tersirat Profesor Surya sedang berperan sebagai guru sekolah alternatif yang menerapkan proses pembelajaran sesungguhnya demi membangun manusia yang utuh. Sikap Pupus yang nggak mau jadi karyawan bank menggambarkan sebuah bentuk perlawanan terhadap kecenderungan sekolah umum yang menghamba pada pencapaian nilai akademik dan mencetaknya sebagai pekerja.
Kedua, berorientasi pada anak.
Sekolah alternatif berusaha membangun proses pendidikan yang manghargai siswa sebagai individu yang sedang bertumbuh dalam lingkup alaminya, bukan sekadar memandang “cuma” anak-anak. Jadi, anak diperlakukan sesuai dengan perkembangan fisik dan psikologisnya.
Selama proses belajar di rumah Profesor, Pupus bebas belajar apa aja sesuai yang dia minati. Bahkan membaca komik pun boleh. Saat rasa ingin tahunya muncul tentang; kenapa komik jepang hitam putih, sementara komik eropa berwarna? Profesor nggak dengan secara langsung menjawab. Tapi Profesor mengajarkan Pupus mencari tahu jawabannya sendiri lewat Mbah Gugel.
Untuk memenuhi keingintahuannya, Pupus mendapat ruang untuk mengeksplorasi lingkungan sekitar tanpa pengawasan yang berlebihan dari Profesor. Hal ini akan cukup ampuh untuk membangun sikap percaya diri anak dengan kemandiriannya. Anak jadi belajar mengandalkan diri sendiri.
Pada saat yang sama anak belajar bagaimana bekerja sama dengan orang lain untuk memecahkan masalah yang ada. Persis seperti tugas pertama Pupus di rumah Profesor, yakni mencuci pakaian dengan mesin cuci tapi Pupus nggak bisa mengoperasikannya. Akhirnya Pupus menelepon Profesor yang sedang mengajar di kampus. Kemudian diarahkannya untuk membaca buku petunjuk. Meskipun buku petunjuknya berbahasa Enggres, tapi Pupus bisa belajar menerjemahkannya dengan kamus.
Ketiga, pendekatan holistik dalam proses pembelajaran.
Di Sekolah alternatif mata pelajaran klasik seperti matematika, ilmu alam, seni, geografi, dan lainnya tidak disampaikan dengan cara seperti di sekolah konvensional.
Selama tinggal di rumah Profesor, Pupus diarahin untuk makan di warung makan Mak Luwe, karena Profesor dari pagi sampai sore lebih sering berada di kampus. Pupus boleh pesan apa aja. Makan apa aja. Tapi sebulan nggak boleh lebih dari tiga ratus ribu. Biar Profesor nggak bangkrut, ya to~
Nah tugas Pupus dari Profesor selanjutnya adalah bikin catatan. Sudah makan apa aja dan harganya berapa. Tapi nggak disangka-sangka Pupus membuat catatan dengan cara membuat tabel debit dan kredit. Dengan cas-ces-cus Pupus menjelaskan cara kerja tabel catatan itu ke Mak Luwe. Profesor layaknya sebagai guru di sekolah alternatif menyajikannya pelajaran untuk Pupus secara tematik. Pupus bisa belajar matematika sekaligus akutansi dalam satu tema.
Keempat, terjalin hubungan yang demokratis antara guru, murid, dan orangtua.
Dalam sekolah alternatif, guru nggak berlaku sebagai “Sang segala tahu” yang memasukan isi kepalanya ke dalam “wadah-wadah kosong”. Tentu saja relasi semacam ini sudah terjalin oleh Profesor dengan Pupus. Dari awal kedatangan Pupus di rumah sudah disajikan kesepakatan bersama.
Mulai dari apa saja yang mau dipelajari sampai yang nggak boleh dilakukan oleh Pupus. Misalnya, minum air langsung dari kendinya. Bukan karena alasan norma, tetapi lebih ke resiko yang akan terjadi kepada Pupus kalau-kalau ukuran kendi yang besar itu terlepas dari tangan Pupus.
Profesor memesankan kendi yang ukurannya lebih kecil dari pengrajin gerabah. Saat Profesor dan Pupus ingin mengambil kendi pesanannya itu, Pupus diberi kesempatan untuk mencoba membuat gerabah. Dengan gerakan yang kaku karena belum pernah mencobanya Pupus gagal membuat seonggok tanah liat menjadi sebuah gerabah. Lalu Profesor berkata, “Oh, tanah liat yang malang! Dia gagal jadi bentuk apapun karena dibentuk oleh tangan yang tidak terampil.”
“Aduh, maafkan aku tanah liat. Ingat, yang gagal bukan kamu. Tapi aku.”, sahut Pupus.
“Tanah liat tidak bisa apa-apa. Hanya bergantung pengrajinnya. Tapi manusia berbeda. Kita punya kemampuan membentuk diri kita sendiri. Kalau kamu belum tahu mau jadi apa. Paling tidak kamu bisa belajar membentuk diri kamu sendiri. Banyak membaca, banyak mengamati, banyak mencoba.”, kata Profesor kepada Pupus.
Tugas utama Profesor sebagai guru adalah merawat hasrat ingin tahu pembelajar seperti Pupus dengan cara mereka mengalami sendiri dan proses penemuan pengetahuan sendiri. Pak Toto Rahardjo masih dalam buku “Sekolah Biasa Saja” mengutip pernyataan Confusius: “Saya dengar, saya lupa; saya lihat, saya ingat; saya lakukan, saya paham; saya temukan, saya kuasai.”
Di era modern ini Mas Kurnia Harta Winata melakukan pendekatan konsepsi itu dengan cara yang lembut. Sehingga tanpa rasa sadar apa yang sudah tergambar masuk dan melekat dengan baik di otak saya sebagai pembaca. Lewat serangkaian dialog Pupus dengan Profesor kita diajak merefleksikan praktik pendidikan di sekolah yang saat ini sedang berlangsung.
Setiap dialog yang terjadi masih banyak hal yang bisa kita sarikan. Dengan cara itu Mas Kurnia Harta Winata mengajak kita semua untuk merenungi bagaimana sebaiknya pendidikan dijalankan.

Pupus Putus Sekolah: Anak Berhaga
Ditulis dan Digambar: Kurnia Harta Winata
Penerbit: Kurnia Harta Winata
Jumlah halaman: 128 hlm
Dimensi: 15 x 21 cm
Cetakan Pertama, Juli 2022
(Pertama kali dipublikasikan di Line Webtoon Indonesia)