Sejujurnya saya merasa malu sendiri saat membaca ulang tulisan ini: Sepanjang Tahun Saya Tanpa Resolusi, tetapi Tidak untuk Tahun 2022. Saya merasa gagal dalam mewujudkan apa yang saya inginkan, yakni menulis sepanjang tahun tentang dunia perkuriran. Parahnya, saya terlalu ambisius untuk membuatnya menjadi sebuah buku.
Akhir tahun 2022 sudah lewat tiga bulan lalu. Resolusi itu tidak tercapai. Selama awal tahun 2023–Januari, Februari, sampai Maret–saya masih belum menulis apapun tentang cerita saya sendiri. Seringkali saya coba membuka laptop atau Google Note di ponsel, tapi pada saat muka saya menghadap layar, saya malah nge-blank. Boro-boro bisa membuat satu paragraf atau kalimat pembuka. Parahnya, saya nggak tahu apa yang mau saya ketok. Eh, maksudnya, ketik.
Saya coba mengingat-ingat kembali apa yang sudah saya hasilkan selama menulis. Honorarium sudah pasti, tapi hal ini enggak cukup untuk menjadi sebuah motivasi. Terkadang, di beranda sosial media, saya melihat banyak karya tulis yang lewat dari teman-teman saya.
Jujur saja, saya merasa iri melihat mereka bisa begitu sangat produktif. Ada yang sudah–saya anggap sukses–selalu menulis cerpen dan terbit di berbagai media, ada yang tulisan esainya sudah bisa masuk di media yang–pembacanya harus membayar–eksklusif.
Sialnya rasa iri itu tidak ada gunanya. Toh, pada kenyataanya untuk menulis di blog pribadi saja, saya masih belum bisa. Bisa saja rasa iri itu diubah menjadi hasrat menulis kembali. Meneruskan jalan menuju keinginan yang belum tercapai. Mungkin lebih tepatnya, menggunakan rasa iri untuk memotivasi diri.
Ah, tapi memotivasi diri dengan cara seperti itu nggak cukup bikin saya menjadi semangat. Malah sifatnya hanya sementara. Setelah beberapa hari, akan hilang kembali. Saya berpikir hari-hari yang dilalui teman-teman saya yang produktif dalam menulis itu, tentu saja berbeda dengan hari-hari saya. Jadi, saya nggak perlu lagi membandingkan pencapaian saya dengan teman-teman lainnya.
Setelah berusaha mencari motivasi diri namun hasilnya cuma bikin capek pikiran aja, saya malah menemukan persoalan yang sedang saya alami ini. Yap, lelah!
Meskipun pekerjaan saya hanya seorang kurir paket, di dalamnya tentu ada persoalan-persoalan yang saya temui. Mulai dari area yang luas, motor mogok, persoalan klasik transaksi COD, sampai jam kerja yang panjang. Seharusnya hal-hal tersebut sudah bisa saya jalani dengan baik. Apapun keadaannya dan resiko pekerjaannya.
Tapi kalau dilihat lebih jauh lagi, pekerjaan yang saya jalani memang sangat rentan mengalami kelelahan yang berlebih. Semenjak terjadinya pengurangan kurir di semua cabang, setiap kurir jadi bekerja ekstra keras. Harus mau melebarkan daya jelajahnya.
Beberapa teman, banyak yang tiba-tiba minta izin untuk nggak masuk kerja dengan alasan sakit. Entah sakitnya beneran atau hanya ingin istirahat saja di rumah, yang pasti teman saya itu sedang mengalami kelelahan secara mental. Sayangnya kita semua nggak punya bekal untuk memeriksakan kesehatan mental diri kepada tenaga profesional.
Alih-alih melakukan self diagnosis, apakah mental saya sedang lelah atau enggak, saya malah mencari cara lain untuk mengobati perasaan lelah yang nggak ada henti-hentinya ini. Seringkali yang saya lakukan adalah berbagi cerita kepada Nyonyah di rumah. Saya merasa beruntung, mendapatkan feedback yang baik dari Nyonyah.
Alhasil, saya bisa tidur tanpa rasa cemas akan hadirnya hari esok yang bisa jadi lebih berat untuk saya jalani. Begitu bangun tidur, saya menjadi lebih rileks dan siap untuk bekerja kembali. Sampai saat ini, bercerita adalah satu-satunya cara yang bisa saya tebus sebagai obat lelah.
Di akhir pekan, saya cuma dapat libur satu hari saja. Yakni hari Minggu. Walaupun kadang, hari libur saya mendadak dipaksa geser ke hari Senin atau Selasa, lantaran ada pengumuman dari management bahwa hari Minggu ada jam operasional khusus delivery.
Sejujurnya saya benci banget dengan hal ini. Libur satu hari saja, itu rasanya kurang. Nggak cukup buat mengistirahatkan badan. Tapi, kok, malah bisa-bisanya digeser. Seringkali, saya menerima dengan lapang dada. Tapi pernah juga, saya menolak untuk nggak masuk. Saya memaksa untuk mengambil jatah libur saya. Perkara delivery, bisa saya jalani di hari Senin.
Selama saya libur bekerja, saya benar-benar nggak mau membuka pesan WA yang masuk. Apalagi kalau isinya perihal pekerjaan. Sudah pasti nggak akan saya balas. Membuka grup WA tempat kerja saja, saya enggan.
Yang saya ingin lakukan adalah, istirahat secara harfiah. Bisa tidur siang, nonton film di rumah, mendengarkan musik kesukaan, main game, ngobrol sama Nyonyah, atau jajan-jajan di luar rumah mencicipi makanan yang nggak bisa saya beli di saat bekerja.
Perkara menulis, sejujurnya saya katakan; otak saya udah cukup lelah, jadi rasanya udah nggak mau lagi berpikir dan menulis kritis tentang suatu fenomena yang terjadi.
Akhir pekan ini, saya libur dua hari; Sabtu dan Minggu. Untuk hari Sabtu saya ijin nggak masuk lantaran ingin merasakan libur dua hari dalam satu akhir pekan. Untuk hari Minggunya adalah libur mingguan saya. Rasanya, saya merasa sangat baik untuk memulai pekerjaan di hari Senin.
Bahkan lebih dari itu, saya bisa punya energi untuk menulis cerita ini. Semoga cerita ini menjadi awal yang baik untuk saya mulai menulis kembali. Ya, semoga saja.