Ruang Tengah

Belajar dengan Melakukan Time Blocking

Bulan Agustus 2022 lalu Seventeen digandeng oleh Korean National Commission UNESCO dalam kampanye #GoingTogether untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan. Melalui kampanye ini, Seventeen berharap semua orang di seluruh dunia bisa belajar untuk mengejar mimpi mereka dan leave no one behind.

Dalam acara Let Me Hear You Say, Seventeen yang diselenggarakan oleh KNCU beberapa bulan lalu, Seventeen mendapat pertanyaan dari audiens tentang cara mereka belajar di tengah jadwal mereka yang padat. FYI,  Kalau ada yang nonton Seventeen in the Soop 1, kita tahu bahwa Vernon belajar bahasa Mandarin saat shooting acara tersebut. Penanya juga merupakan seorang pekerja yang masih ingin belajar banyak hal.

Kata Vernon, mereka juga struggle soal ini. Yang mereka lakukan adalah menandai jadwal di ponselnya dan kalau ada yang ingin dipelajari ya disempet-sempetin dengan memasukkan di jadwalnya. Kalau yang mau dipelajari terlalu banyak, ya harus milih karena memang nggak semua hal bisa dikerjain.

Apa yang dikatakan oleh Vernon ini, senada dengan apa yang aku dapat dari Well Being Journey Journal-nya Wangsa Jelita edisi ke 6. Metode ini disebut dengan time boxing. Dengan time boxing ini, kita belajar atau mengerjakan sesuatu dalam waktu tertentu yang sudah kita alokasikan. Ini juga ada di buku Manage Your Day to Day dari 99U. Untuk bisa belajar, berlatih, atau melakukan suatu pekerjaan kreatif, kita perlu membuat jadwal dimana kita bisa fokus tanpa gangguan. 

Sejujurnya aku membaca buku ini karena menjadi tugas dalam sebuah course. Ketika mendiskusikan buku ini, seseorang berkata bahwa teknik ini sepertinya hanya bisa untuk laki-laki. Bagaimana seorang ibu dengan anak kecil seperti dia bisa meluangkan waktu sampai 90 menit tanpa gangguan padahal dia ke toilet sebentar saja anaknya sudah mencarinya.

Buku Manage Your Day to Day dari 99U.

Yang dikeluhkan oleh ibu itu adalah hal yang nyata, tentu saja. Walaupun setiap unit kerja di PBB berkata leave no one behind, ada beberapa hal yang nampaknya agak sulit untuk dibayangkan oleh perempuan dengan beban ganda dan segala stigma yang menempel pada perempuan. 

Yang aku ingat, mentornya berkata (ini juga ada di buku Manage Your Day to Day sih) bahwa pekerjaan kreatif itu ya pekerjaan. Belajar untuk meningkatkan kemampuan atau melakukan unnecessary creation untuk berlatih itu termasuk bagian dari pekerjaan. Jadi seharusnya tidak perlu merasa bersalah kalau tidak mau diganggu. Kita bisa ke kafe atau perpustakaan bila kondisi di rumah atau tempat kerja tidak memungkinkan. Dan ini seharusnya bisa dikomunikasikan dengan suami atau keluarga.

Kalau kondisinya memang tidak memungkinkan untuk blocking time setiap hari, bagaimana kalau setiap minggu? Lalu ekspektasi juga diturunkan dengan tidak mengharapkan bisa menghasilkan sebuah karya dalam waktu yang singkat. Bagaimana kalau project yang dilakukan jadi project tahunan?

Kalau saja ibu ini tinggal di Indonesia, aku sebenarnya ingin menyarankan Si Ibu membaca buku Empowered ME yang ditulis oleh Kak Puty Puar. Dalam buku ini, Kak Puty memperkenalkan tentang manajemen rasa bersalah. 

Aku berharap, Ibu ini bisa mengerjakan apapun yang ingin dia kerjakan.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s