Ulasan untuk buku dan serial drama Anatomy of Scandal
Di kelas Hypatia Indonesia bersama Ibu Ester Lianawati hari Jumat (3 Februari 2023), Bu Ester bercerita tentang kasus Shaina yang ramai di Perancis. Ini tentang relasi kekerasan dalam berpacaran. Shaina dilecehkan oleh pacar dan teman-temannya lalu video tindakan tersebut disebarkan di sosial media sehingga dia mendapat julukan yang tidak menyenangkan.
Sebagai korban kekerasan seksual di Perancis, Shaina dan keluarganya harus menunjukkan bahwa dia memang tidak seharusnya dilecehkan dan harus menunjukkan bahwa dia memang korban. Bukan karena korban (pihak perempuan) yang “mengundang”.
Akhirnya Shaina dibunuh dan keluarganya menuntut keadilan walaupun ada kesulitan karena pelakunya masih usia anak-anak. Kurasa, ini perlu menjadi bahan belajar kita semua sih. Bahwa peradilan tentang kekerasan seksual perlu diupgrade sedemikian rupa.

Aku baru selesai membaca Anatomy of a Scandal karya Sarah Vaughan, yang drama adaptasinya sudah selesai aku tonton berhari-hari yang lalu. Anatomy of a Scandal bercerita tentang proses pengadilan seorang anggota kementerian di Inggris yang menjadi tersangka pelecehan seksual.
Dalam sidang tersebut, korban diminta untuk menceritakan kejadian dengan sedetail-detailnya, dicecar dengan berbagai pertanyaan, dan masih besar kemungkinan untuk tidak dipercaya karena korban punya hubungan gelap dengan tersangka.
Sejujurnya, untuk segi cerita aku lebih menikmati dramanya karena di buku terlalu banyak detail yang diungkapkan yang agak membuat lelah. Di beberapa bagian, ada kesan penulis menggurui pembaca. Ya maksudku, aku tahu kalau tema ceritamu ini penting tapi bisa donk, biarkan cerita menjadi cerita dan biarkan pembaca yang menangkap hikmahnya sendiri.
Rating di Goodreads maupun di the Storygraph nggak bagus-bagus amat juga. Kayaknya sih cerita ini diadaptasi ke drama karena memang temanya yang penting.

Yang menjadi poin persoalan dalam cerita ini adalah konsen untuk melakukan hubungan seksual. Korban tidak berkenan melakukan hubungan di lift dan tegas mengatakan tidak. Sehingga dia melapor ke polisi dengan aduan kekerasan. Tapi kata tidak ini dianggap oleh tersangka (dan orang lainnya juga karena mereka punya hubungan yang spesial) sebagai rayuan. Agak ambigu ya?
Aku sendiri tidak yakin bisa dengan tegas memihak korban kalau aku terlibat dalam cerita itu, menjadi juri dalam pengadilan itu misalnya.
Kalau di bukunya, dijelaskan bahwa pengacara korban banyak menangani kasus-kasus kekerasan seksual. Mulai dari yang terlihat nyata sebagai kekerasan seperti seorang siswi yang dilecehkan karena melakukan kesalahan sampai kasus-kasus yang ambigu seperti pelecehan yang dilakukan seorang suami kepada istrinya.

Di buku juga kita bisa melihat lebih dalam karakter istri tersangka. Ketika dia mulai menyadari ada kesalahan dalam diri suaminya, dia ingin pergi dan tidak mau terlibat dalam urusan suaminya tapi sebagai ibu rumah tangga yang mendedikasikan hidupnya untuk keluarga, dia punya ketakutan tersendiri untuk pergi dari suaminya.
Di Indonesia sendiri, sepertinya untuk memperdebatkan persoalan konsen ini masih jauh. Kejadian-kejadian yang nyata-nyata kekerasan saja banyak yang diupayakan jalan damainya supaya tidak masuk ke laporan polisi.