
Beberapa pertemuan di kelas Hypatia Indonesia lalu, Bu Ester menjelaskan tentang dunia tanpa misogini lebih sulit dibayangkan dibandingkan dunia tanpa rasis. Alasannya karena rasisme bisa ditelusuri asal mulanya dan dicari tahu penyebabnya sedangkan misogini sampai sekarang belum diketahui pasti asal mula dan penyebabnya.

Dalam buku Sapiens Grafis volume 2: Pilar-pilar Peradaban, gender adalah hierarki yang rumit dibandingkan ras dan kasta. Sejak masa revolusi pertanian, laki-laki lebih diuntungkan dimanapun. Di banyak Masyarakat di dunia, perempuan hanyalah benda milik laki-laki. Biasanya ayahnya atau suaminya. Menjadi suami berarti memegang kendali penuh atas istri. Setiap masyarakat mengambil inti bahwa laki-laki dan perempuan berbeda secara biologis lalu menambahkan lapisan demi lapisan gagasan dan norma budaya yang nyaris tidak ada kaitannya dengan biologi hingga yang terjadi adalah seperti saat ini.

Ini juga yang coba dijelaskan dalam buku Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir adalah pada bab Pejantan Buas. Yang aku tangkap dari bab ini adalah bahwa supremasi laki-laki terjadi bermula ketika manusia mulai berperang. Untuk berperang, seseorang atau suatu kelompok perlu dimotivasi menjadi agresif dan brutal. Dan yang digunakan sebagai motivasi adalah seks. Untuk membuat seks menjadi imbalan atas keberanian berperang, maka salah satu jenis kelamin harus diajarkan untuk menjadi pengecut.

Yang menarik dari bab ini, penulis menampilkan 2 penelitian etnografi yang dilakukan pada satu suku pedalaman. Yang satu penelitiannya dilakukan oleh pakar etnografi laki-laki dan yang satu pakar etnografi perempuan supaya kesimpulannya tidak bias gender. Di sini, aku jadi melihat 2 sudut pandang dalam satu perilaku masyarakat yang sama.

Ketika melihat laki-laki yang kasar terhadap istrinya dan istrinya yang bersikap pasif terhadap kekerasan rumah tangga di masyarakat tersebut, pakar etnografi laki-laki menyatakan bahwa perempuan masyarakat itu berharap dianiaya oleh suaminya dan perempuan menakar status mereka sebagai istri melalui pukulan yang diberikan suaminya.

Di lain sisi, pakar etnografi yang perempuan mengatakan bahwa kita tidak bisa menyimpulkan perempuan masyarakat itu ingin dipukuli tapi kita bisa berkata bahwa mereka mengantisipasi akan dipukuli oleh suaminya.

Di kelas Hypatia Indonesia bulan Januari, Bu Ester menceritakan tentang arkeologi gender. Bagaimana pentingnya sudut pandang perempuan dalam penelitian arkeologi dan menolak aplikasi norma barat modern yang dibangun dari nilai maskulin terhadap masyarakat masa lampau.

Ini yang kemudian menyadarkanku pentingnya sudut pandang perempuan dalam penelitian semacam ini. Berharap dianiaya dan mengantisipasi dianiaya aku rasa adalah frasa yang berbeda artinya.